Senin, 07 Juli 2008

Keterkaitan Antara Studi Masalah Sosial dan Pembangunan Masyarakat

Dilihat dari kemandirian masing-masing, studi Masalah Sosial dan Studi Pembangunan Masyarakat memang dapat berdiri sendiri. Hal ini juga tampak dari kenyataan adanya buku-buku yang ditulis untuk membahas secara khusus baik tentang fenomena masalah sosial, maupun tentang pembangunan masyarakat. Dipandang dari ruang lingkup pembahasan yang lebih luas, maka diantara keduanya dapat saja dilihat kaitan dan antea hubungannya. Lebih-lebih bila diingat, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya disadari tidak ada gejala sosial yang sama sekali terisolir dari gejala lain. Sudah barang tentu pernyataan tersebut juga berlaku untuk fenomena masalah sosial dalam kaitan timbal batik dengan pembangunan masyarakat.
Celah-celah peluang untuk melihat kaitan antara dua fenomena sosial tersebut antara lain dapat diidentifikasi melalui pemahaman pembangunan masyarakat sebagai suatu proses. Memang benar, bahwa sering dikatakan pembangunan pada umumnya dan pembangunan masyarakat pada khususnya merupakan proses yang seolah-olah tanpa akhir. Apa yang dilakukan sekarang tidak dapat dilepaskan dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya bahkan juga dalam kaitannya dengan pertimbangan tentang prospek di masa mendatang. Pembangunan masyarakat bukan merupakan aktivitas yang dilakukan hari ini dan kemudian berhenti keesokan harinya, demikian juga bukan merupakan kegiatan yang dilakukan sepotong-potong secara parsial. Lebih dari itu, pembangunan masyarakat merupakan proses yang berkesinambungan.
Melihat kenyataan tersebut, dapat dimengerti apabila orang merasa sulit untuk menentukan kapan proses itu berawal dan kapan pula berakhir. Walaupun demikian, sebagai proses yang berkesinambungan, pembangunan termasuk di dalamnya pembangunan m.asyarakat juga mengenal tahap-tahap yang perlu dilewati, bahkan dalam setiap tahap dapat berisi paket-paket kegiatan atau program-program tertentu. Dengan melihat masing-masing tahap apalagi masing-masing paket kegiatan ini, orang dapat membedakan kondisi sebelum, pada saat dan setelah suatu kegiatan atau program pembangunan tertentu dijalankan. Dari ketiga dimensi waktu dalam proses pembangunan masyarakat tersebut, kaitan antara masalah sosial dengan pembangunan masyarakat dapat diidentifikasi.
Sebagaimana diketahui, masalah sosial merupakan kondisi yang tidak diinginkan karena mengandang unsur-unsur yang dianggap merugikan baik dari segi fisik maupun non fisik bagi kehidupan bermasyarakat. Lebih dari itu, dalam kondisi yang disebut masalah sosial tersebut juga sering terkandung unsur yang dianggap merupakan pelanggaran dan penyimpangan terhadap nilai, norma dan standar sosial tertentu. Oleh sebab itulah dari kondisi semacam itu kemudian menampilkan kebutuhan akan pemecahan, perubahan dan perbaikan. Dilain pihak, dalam pengertian pembangunan masyarakat pada dasarnya selalu terkandung unsur perubahan, khususnya perubahan menuju kepada suatu tingkat dan kondisi yang lebih baik. Tanpa dapat menunjukkan adanya unsur perubahan ini, sulit untuk dapat mengatakan bahwa suatu aktivitas atau suatu proses sebagai pembangunan masyarakat. Melalui kerangka pemikiran seperti ini antara lain dapat dicoba dilihat relevansi antar studi tentang masalah sosial dan pembangunan masyarakat.
Masalah sosial merupakan kondisi yang perlu dirubah dan diperbaiki, sedangkan pembangunan masyarakat merupakan suatu usaha atau suatu proses untuk melakukan perubahan kearah perbaikan. Dengan demikian, tidak jarang bahwa berbagai kondisi yang dapat dikategorisasikan sebagai masalah sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan merupakan sesuatu yang mendorong dilaksanakannya pembangunan masyarakat. Dengan perkataan lain, pembangunan masyarakat dapat berfungsi sebagai salah satu upaya untuk ikut memecahkan masalah sosial tertentu.Bahkan melalui pembangunan masyarakat diharapkan dapat menangani masalah langsung pada sumbernya, bukan sekedar pada gejala atau simtomnya saja. Hal itu disebabkan karena dalam pembangunan masyarakat akan ikut ditangani kondisi kehidupan masyarakat pada level makro dan pada level sistem yang seringkali justru merupakan sumber utama masalahnya.
Apabila aktivitas pembangunan masyarakat dilatarbelakangi dan dimaksudkan untuk memecahkan masalah sosial tertentu, maka agar sasaran itu dapat tercapai perlu pula mempertimbangkan kondisi dan keberadaan masalah sosial yang akan ditangani. Pemahaman terhadap seluk beluk masalahnya akan lebih memungkinkan dilakukannya tindakan yang tepat dan mengenai sasaran.
Dilihat pada saat pembangunan masyarakat sedang berlangsung, maka relevansi masalah sosial dapat dijelaskan dari hambatan yang sering dialami dalam proses tersebut. Sebagai suatu proses perubahan dan pembaharuan, pembangunan masyarakat tidak jarang menghadapi hambatan yang berasal dari kondisi masyarakat itu sendiri. Salah satu kondisi yang dapat menjadi faktor penghambat ini adalah bentuk-bentuk masalah sosial tertentu. Sebagai suatu contoh, masalah sosial dapat berupa kondisi kehidupan masyarakat yang mengalami disintegrasi. Dalam kondisi seperti ini unsur dalam sistem terpecah dan tidak menunjukkan hubungan yang harmonis, atau dapat pula berupa tidak berfungsinya berbagai lembaga yang ada dalam sistem. Apabila hal ini terjadi, betapapun sempurna dan cermat perencanaan dan strategi yang telah disusun, akan tetapi karena pelaksanaannya tidak didukung oleh suatu sistem kemasyarakatan yang baik dan sehat maka hasilnya juga akan kurang memenuhi harapan.
Masalah sosial juga dimungkinkan dengan adanya lembaga-lembaga kemasyarakatan yang secara formal ada akan tetapi sebetulnya secara riil sudah tidak berfungsi. Sebagai akibatnya akan sangat mengganggu dan menghambat pelaksanaan pembangunan masyarakat itu sendiri. Apabila lembaga tersebut akan ditinggalkan dan dilewati, kenyataannya secara formal masih ada berdasarkan ketentuan formal harus digunakan, padahal sebetulnya sama sekali sudah tidak mempunyai daya dukung terhadap keberhasilan proses. Dengan demikian proses yang berjalan akan terjebak pada kondisi formalisme yang sama sekali tidak efisien. Pada sisi yang lain, masalah sosial yang bersumber dari disintegrasi sistem yang membawa akibat kurang serasinya hubungan antar komponen dapat mudah menimbulkan gejala cultural lag.
Sebagaimana diketahui, perubahan yang terjadi karena pembangunan masyarakat mungkin tidak berlangsung serentak berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya masalah prioritas. Walaupun demikian, apabila perubahan pada salah satu bagian tidak secara cepat direspon oleh bagian yang lain, maka dapat mengakibatkan masalah. Dalam hal ini dapat terjadi bidang yang lain tidak mendukung perubahan yang terjadi pada salah satu bidang yang berubah lebih dahulu, tetapi justru menjadi faktor penghambat.
Relevansi yang lain antara masalah sosial dan pembangunan masyarakat dilihat pada saat proses yang sedang berjalan adalah adanya bentuk masalah sosial yang dialami oleh sebagian warga masyarakat seperti masalah kriminal, kenakalan, penyalahgunaan obat dan sejenisnya. Para penyandang masalah tersebut cenderung kurang dapat berpartisipasi dalam ikut menegakkan kehidupan bermasyarakat, termasuk partisipasinya dalam pembangunan masyarakat. Bahkan dalam beberapa hal dapat menjurus pada kecenderungan anti partisipasi dan counter produktif dilihat dari pencapaian tujuan pembangunan itu sendiri. Padahal, dilain pihak keberhasilan pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh partisipasi secara nyata dan merata dari seluruh lapisan masyarakat.
Melihat kenyataan tersebut, usaha untuk memahami dan kemudian menangani berbagai masalah sosial tadi akan mempunyai dampak yang sama dengan usaha untuk mempercepat laju proses pembangunan masyarakat itu sendiri. Ibaratnya orang mendorong mobil, usaha menghilangkan gundukan-gundukan tanah di jalan yang menghambat jalannya mobil, mempunyai pengaruh yang sama terhadap laju jalannya mobil dibandingkan apabila harus menambah jumlah orang yang mendorong mobil tersebut. Dari cara berfikir semacam itu maka dapat dilihat posisi dan sumbangan studi masalah sosial termasuk upaya pemecahan masalah sosial terhadap pembangunan masyarakat. Lebih dari itu, sumbangan studi masalah sosial juga dapat dilihat dari pengembangan pendekatan, metode dan strategi pembangunan masyarakat. Pada umumnya pemilihan pendekatan dan strategi yang tepat antara lain akan sangat ditentukan oleh pemahaman kondisi masyarakatnya. Sehubungan dengan hal ini, dapat dipahami apabila pendekatan dan strategi yang diterapkan dalam masyarakat yang disorganize dan masyarakat yang sedang mengalami berbagai bentuk masalah sosial berbeda dengan pendekatan dan strategi bagi masyarakat yang relatif organize dan "normal”.
Selanjutnya, kaitan masalah sosial dengan pembangunan masyarakat juga dapat dilihat pada dimensi waktu setelah suatu program atau aktivitas pembangunan masyarakat dijalankan. Apabila dampak dari program dan aktivitas tersebut merupakan suatu kondisi yang lebih baik, maka hal itu bukan merupakan bidang kajian masalah sosial karena memang kondisi itulah yang diharapkan oleh proses pembangunan masyarakat. Yang lebih menjadi perhatian kajian masalah sosial adalah apabila pada kondisi pasca aktivitas dan pelaksanaan program tersebut terdapat side effect negatif. Mengingat bahwa pembangunan masyarakat merupakan suatu proses perubahan yang terencana menuju suatu kondisi yang lebih baik, maka munculnya side effect negatif tersebut seolah-olah merupakan hal yang kontradiktif. Walaupun demikian, kenyataan tersebut paling tidak dapat dijelaskan melalui tiga hal (Soetomo, 1992 : 74).
Pertama, walaupun sudah diusahakan untuk mencakup semua aspek yang terkait, akan tetapi mungkin saja dalam perencanaan yang dibuat, ada salah satu atau beberapa aspek yang terlewatkan, sehingga pada tahap pelaksanaannya, munculnya masalah yang berkaitan dengan aspek tersebut tidak masuk dalam kendali pelaksanaannya.
Kedua, membuat rencana termasuk merencanakan proses pembangunan masyarakat pada dasarnya mirip dengan membuat skenario terhadap hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. Oleh sebab itu untuk membuat rencana yang baik diperlukan kemampuan yang membuat prediksi. Munculnya side effect negatif yang tidak diperhitungkan sebelumnya sebetulnya merupakan bentuk dari kelemahan prediksi.
Ketiga, mungkin saja asumsi, konsep dan teori yang mendasari perencanaan sudah mampu memprediksi berbagai aspek yang ditimbulkan, akan tetapi karena berbagai keterbatasan, terpaksa dipilih aspek tertentu yang menjadi prioritas. Dengan demikian, walaupun dampak negatif sebagai akibat dilaksanakannya perubahan pada aspek yang mendapat prioritas tersebut sudah dapat diprediksi sebelumnya, akan tetapi hal itu dianggap sebagai harga yang harus dibayar, karena perubahan pada aspek yang mendapat prioritas tadi dianggap lebih mendesak.
Mengingat hal-hal tersebut, maka semestinya pembangunan masyarakat tidak hanya menekankan perhatiannya pada bagaimana memperkenalkan dan mendorong perubahan agar lebih cepat terjadi, akan tetapi juga memberikan perhatian pada dampak perubahan tersebut, termasuk dampak yang negatif. Akan lebih baik apabila dampak negatif ini sudah dapat diperhitungkan sehingga mempunyai peluang untuk dapat ditiadakan, dieleminir atau paling tidak dikendalikan. Untuk maksud tersebut studi masalah sosial yang mengkaji keberadaan dan latar belakang berbagai masalah tersebut akan dapat memberikan sumbangannya. Berbicara tentang sumbangan studi masalah sosial dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan masyarakat berkaitan dengan side effect negatifnya ini, paling tidak dapat dilihat dari dua sisi yaitu usaha-usaha preventif dan rehabilitatif.
Sumbangan bagi usaha preventif dapat berupa input berbagai teori dan proposisi untuk mempertajam prediksi terutama tentang dampak yang akan timbul apabila suatu aktivitas tertentu dijalankan atau suatu kondisi tertentu mengalami perubahan. Dengan demikian, unsur pencegahan dan pengendaliannya sudah dapat dimasukkan dan diintegrasikan sejak tahap perencanaan. Sumbangannya bagi usaha rehabilitatif dapat berupa berbagai konsep, pemikiran tentang metoda dan strategi penanganan masalah yang terjadi sebagai side effect negatif pelaksanaan pembangunan masyarakat yang berada di luar kemampuan kendali perencanaan. Penanganan yang tepat dapat mengurangi pengaruh negatif, karena berbagai bentuk deviasi dan disintegrasi dapat dikembalikan pada kondisi yang lebih memberikan iklim kondusif bagi kehidupan bermasyarakat. Setidak-tidaknya melalui usaha tersebut dapat dicegah berkembangnya masalah semakin luas sehingga tidak menimbulkan berbagai komplikasi.
Oleh sebab itu, dalam tindakan rehabilitatif ini selain dilakukan proses pemulihan dalam arti mengusahakan kembali fungsi individu, kelompok dan institusi kedalam kehidupan masyarakat juga dapat terkandung unsur represif dalam pengertian menekan masalah sosial agar tidak meluas dan menjalar sehingga menjadi semakin parah.
Pada bagian selanjutnya akan dicoba diuraikan beberapa bentuk masalah sosial yang berkaitan dengan proses pembangunan masyarakat pada dimensi waktu sebelum, pada saat dan sesudah proses pembangunan masyarakat berlangsung.

Kamis, 27 Maret 2008

Individu Sebagai Satuan Pengamatan, Sistem Sebagai Sumber Masalah.

Sumber masalah yang menyebabkan terjadinya perilaku individu yang menyimpang tidak ditelusuri dari “kesalahan" individu tetapi dari "kesalahan" sistem. Dengan perkataan lain, perbedaan dengan sub bab 1 adalah terletak pada pendekatan dalam mendiagnosis masalah, sedang satuan pengamatan dalam rangka identifikasi masalah sama. Dalam sub bab 1 pendekatan yang digunakan adalah Individu Blame Approach, sedang dalam sub bab 2 ini menggunakan System Blame Approach. Apabila menggunakan contoh masalah yang sama dengan yang telah diuraikan dalam sub bab 1 butir a yaitu masalah putus sekolah, maka dalam System Blame Approach sumber masalah akan dilihat dari kesalahan sistem. Barangkali diagnosisnya akan mengatakan bahwa tingginya angka drop out disebabkan oleh tidak tepatnya sistem pendidikan yang diterapkan, tidak seimbangnya beban kurikulum dengan kemampuan anak, kesalahan dalam proses belajar mengajar.
Para penganut pendekatan ini mempunyai kesan bahwa tidak jarang orang lebih melihat pada gejalanya dari sumber masalah yang sebenarnya. Pendekatan ini melihat bahwa berbagai bentuk perilaku individu yang dianggap melanggar norma atau tidak sesuai dengan harapan sebetulnya hanyalah merupakan simtom bukan masalah yang sebenarnya. Untuk dapat melihat masalah yang sebenarnya perlu dilihat pada sistem, struktur dan institusi sosialnya. Individu yang perilakunya dianggap merupakan masalah sosial sebenarnya hanyalah sekadar sebagai korban dari adanya sistem yang kurang benar.
Perhatian yang lebih difokuskan pada simtom tersebut akan membawa akibat, dalam proses diagnosis orang lebih memperhatikan gejala perilaku yang pathologis daripada sumber penyakitnya, masalah kriminal dari pada sistem hukum dan peradilannya, masalah tingkat hidup yang rendah dari pada distribusi power dan penguasaan resources dalam masyarakatnya, masalah kegagalan para siswa dari pada krisis dunia pendidikan yang sedang melanda.
Lebih lanjut, pendekatan ini juga beranggapan bahwa penanganan masalah sosial yang didasarkan pada diagnosis yang hanya memperhatikan simtom tidak akan dapat memecahkan "masalah", atau setidak-tidaknya hanya memecahkan masalah secara sementara dan tidak tuntas. Hal itu disebabkan oleh karena sumber masalahnya belum berubah, karena belum ditangani secara serius. Sebagai suatu contoh penanganan masalah prostitusi dan kriminal sebagai akibat over urbanisasi melalui proses resosialisasi barangkali kurang efektif sepanjang tidak diikuti dengan upaya perubahan di sekitar disparitas pembangunan desa dan kota dan program pembangunan yang mengarah pada pemerataan dalam menikmati hasil. Pendek kata penanganan masalah sosial menurut pandangan ini tidak dititikberatkan pada perubahan perilaku orang per orang, melainkan pada perubahan kondisi sosial yang dianggap merupakan sumber utama masalah sosial.
Dalam pelaksanaannya, diagnosis dengan menggunakan System Blame Approach inipun menjadi cukup bervariasi, tergantung pada perspektif yang digunakan untuk melihat sistem sebagai sumber masalah.

Senin, 17 Maret 2008

Sistem Sebagai Satuan Pengamatan Sekaligus Sumber Masalah

Pembahasan berikut juga akan membicarakan masalah sosial yang diidentifikasi pada level sistem. Artinya, untuk dapat memberikan tingkat kepekaan yang lebih tinggi terhadap keberadaan masalah dalam masyarakat, fokus perhatian lebih ditekankan pada kondisi sistem atau kehidupan masyarakat sebagai kebulatan. Sebagairnana sudah disinggung dalam bagian lain tulisan ini, identifikasi masalah cukup penting dalam studi dan penanganan masalah sosial, oleh karena identifikasi merupakan langkah awal yang mendorong dan membuka jalan bagi langkah berikutnya. Fuller dan Myers (dalam Weinberg, 1981 : 88), menyebut proses identifikasi ini sebagai tahap awareness atau tahap untuk menarik perhatian masyarakat terhadap situasi yang dianggap sebagai masalah, dan merupakan suatu langkah yang mengawali tahap policy determination dan tahap reform.
Perbedaan dengan sub bab sebelumnya adalah dalam hal mendiagnosa masalah. Dalam sub bab sebelumnya penelusuran sumber masalah dilakukan dari sisi individu, sedangkan pada pembicaraan ini sumber masalah akan dilihat dari "kesalahan" sistem. Sebagaimana sudah dikemukakan, pandangan ini mempunyai dasar berpikir bahwa dengan penelusuran sumber masalah pada level sistem akan betul-betul diketemukan sumber permasalahannya bukan sekedar gejala atau simtomnya. Lebih dari itu, pandangan ini juga mengemukakan alasan, bahwa apabila masalah sosial akan dikaji dengan menggunakan sudut pandang ilmu sosial, maka objek kajiannya semestinya tidak dititik beratkan pada individu melainkan pada masyarakat. Apalagi jika diingat, bahwa dalam kenyataannya kerangka institusional dari suatu masyarakat memang sering menjadi sumber masalah sosial (seperti masalah ras, polusi, distribusi pelayanan kesehatan yang tidak merata, kemiskinan struktural, perang). Pertimbangan lain adalah adanya asumsi bahwa institusi sosial dibuat oleh manusia, dengan demikian tidak bersifat sakral, sehingga dengan demikian dapat berubah atau diubah apabila dianggap kurang dapat memenuhi berbagai aspek kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat.
Walaupun demikian, tetap disadari bahwa pendekatan ini pun tidak terlepas dari kelemahan dan mengandung "bahaya" apabila penerapannya tidak proporsional. Oleh sebab itulah perlu disadari adanya beberapa hal agar dapat mengendalikan penerapan pendekatan ini sehingga tetap proporsional. Diantaranya adalah tetap dilandasi oleh kesadaran bahwa system blame approach hanya sebagian dari kebenaran untuk dapat menjelaskan masalah sosial yang cukup kompleks. Bentuk kehati-hatian yang lain adalah menjaga agar penerapan pendekatan ini tidak dilakukan secara dogmatis. Apabila hal itu dilakukan, akan dapat menyesatkan pandangan, seolah-olah individu sekedar merupakan robot yang dikontrol sepenuhnya oleh sistem. Pandangan sistem yang ekstrem akan mengabaikan faktor responsibilitas dari masing-masing individu atas berbagai bentuk tindakan mereka.