Selasa, 13 Januari 2009

Masalah Sosial Sebagai Efek Sampingan Pembangunan Masyarakat

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, masalah sosial yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kondisi yang terjadi setelah berlangsungnya suatu aktivitas pembangunan masyarakat. Sebagai proses perubahan yang terencana, sudah jelas bahwa masalah sosial yang timbul tersebut bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Oleh sebab itulah maka lebih tepat disebut sebagai efek sampingan dari proses pembangunan masyarakat. Mengingat bahwa gejala sosial merupakan fenomena yang saling kait mengkait, maka tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan pada aspek yang lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah yang kemudian dikategorikan kedalam masalah sosial.
Efek sampingan yang terjadi dapat bersumber dari dimensi sosial maupun fisik. Yang berasal dari dimensi sosial misalnya memudarnya nilai-nilai sosial masyarakat, merosotnya kekuatan berbagai mengikat norma-norma sosial sehingga menimbulkan bentuk perilaku menyimpang serta ketergantungan masyarakat terhadap pihak lain sebagai akibat sistem intervensi pembangunan yang kurang proporsional. Selo Soemarjan dalam kata pengantar untuk buku Colleta dan Umar Kayam (1987) mengemukakan, bahwa disamping hasil-hasil yang cukup menggembirakan dalam pembangunan ekonomi gaya modern, masyarakat sedang berkembang merasakan kemerosotan yang tidak mengenakkan dari identitas budaya mereka. Sementara itu, hal yang sama juga dirasakan oleh beberapa sarjana ilmu sosial Asia dalam Simposium dengan tema Asian Rethinking of Development (Atal dan Pieris, 1980).
Persoalan yang cukup mendapat sorotan adalah apakah negara-negara sedang berkembang harus mengorbankan kepribadian nasional demi keuntungan-keuntungan ekonomi yang dijanjikan oleh proses modernisasi. Sementara itu, negara-negara Barat yang sudah maju industrinya sedang memperlihatkan tanda-tanda ketegangan dan telah terbukti tidak mampu menjawab tantangan-tantangan sosial budaya yang timbul dari idustrialisasi yang pesat. Salah seorang peserta simposium menunjuk harga yang sangat besar yang harus dibayar pada masa pasca industri dengan memberikan contoh kasus bahwa rata-rata setiap kota di Amerika setup harinya terjadi 50 perbuatan bunuh diri, yang menurut gejalanya disebabkan karena kesepian, rasa takut, kehilangan makna hidup dan perasaan bingung yang tak terhingga.
Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek sampingan dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, kebersihan dan terutama pada kesehatan masyarakat, sedang dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri. Perubahan yang terjadi melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan sesegera mungkin. Dengan demikian, dapat dipahami apabila pembangunan juga aka menyebabkan perubahan lingkungan. Sebagian perubahan lingkungan itu memang sudah direncanakan atau masuk dalam kendali perencanaan.
Walaupun demikian, dalam kenyataannya keluasan dan intensitas perubahan lingkungan selalu lebih besar dari pada yang direncanakan. Oleh sebab itu, dilihat dari perubahan lingkungan tersebut, dikenal adanya efek sampingan dari proses pembangunan yang dapat bersifat positif maupun negatif (Otto Soemarwoto dalam Dasman, 1977 : viii). Dalam uraian lebih lanjut, masalah sosial yang terjadi sebagai efek sampingan proses pembangunan akan dipilih masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan ini sebagai kasus yang akan dibahas. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa masalah ini menyangkut dimensi waktu, tidak saja seat ini akan tetapi juga masa mendatang, disamping juga menyangkut dirnensi ruang tidak saja lokal akan tetapi nasional bahkan global.

--> Intensitas Dan Kompleksitas Masalah
Suatu ekosistem pada dasarnya adalah suatu komunitas biota yang berinteraksi dengan lingkungan fisiknya seperti matahari, air, tanah dan batuan. Dalam ekosistem itu setiap spesies hidup sebagai populasi yang pertumbuhan atau penyusutannya dipengaruhi oleh daya dukung sistem tadi dalam penyediaan keperluaan bagi kehidupan (Dasmann dkk, 1977 : 2). Dengan demikian, pertambahan populasi manusia termasuk perubahan bagi berbagai jenis perilakunya akan dapat mempengaruhi keseimbangan yang ada. Oleh sebab itu, Eitzen (1986 : 91) mengemukakan adanya beberapa faktor dari kekuatan sosial atau manusia dan perilakunya yang berpengaruh terhadap hadirnya masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan. Faktor-faktor tersebut adalah:
1) pertumbuhan penduduk yang pesat dan mengakibatkan meningkatnya permintaan akan makanan, energi dan beberapa produk yang lain
2) konsentrasi penduduk di daerah perkotaan menyebabkan berbagai limbah yang harus diserap oleh ekosistem dan lingkungan
3) proses pembangunan dan modernisasi yang meningkatkan penggunaan teknologi modern dan pola konsumsi.
Dari kenyataan tersebut tampak bahwa proses pembangunan dan modernisasi yang tujuan utamanya adalah mengusahakan perbaikan kondisi kehidupan, pada sisi yang lain juga dapat mendatangkan kerawanan atau paling tidak potensi kerawanan dilihat dari kelestarian lingkungan. Potensi kerawanan tersebut akan semakin dapat dipahami mengingat dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat, melalui proses pembangunan telah dilakukan usaha yang semakin intensif dalam rangka memobilisasi sumber daya termasuk sumber daya alam. Bahkan untuk lebih mengoptimalkan nilai tambah sumber daya tersebut telah dipacu dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih. Dengan demikian seolah-olah telah terjadi semacam konflik antara tujuan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi dengan tujuan konservasi atau pencagaran. Kesan adanya konflik semacarn itu akan tampak semakin tajam apabila pandekatan pembangunan yang digunakan lebih berorientasi pada peningkatan produksi yang cepat.
Secara sangat jelas, Emil Salim (1986 : 22) mengemukakan hal itu melalui beberapa dampak lingkungan dari pendekatan pembangunan yang menggunakan pandangan aliran klasik dan Neo Klasik. Diantaranya diungkapan hal-hal sebagai berikut ini.
Pertarna, mekanisme pasar bekerja tanpa pertimbangan lingkungan hidup. Dengan demikian, teknologi produksi dan pola konsumsi dikembangkan tanpa memperhitungkan pengaruhnya terhadap lingkungan. Hal yang sama juga terlihat dari kenyataan bahwa lingkungan hidup telah luput pula dari perhitungan harga dan biaya pembangunan dalam mengejar produksi nasional.
Kedua, tumbuh-tumbuhan, binatang, zat dan benda mati yang tidak atau belum diketahui manfaatnya saat ini akan luput pula dari perhitungan ekonorni pembangunan, sehingga kemusnahannya tidak dirasakan sebagai kerugian.
Ketiga, setiap sumber alam diolah tanpa keharusan memperbaharuinya kembali walaupun termasuk jenis renewable resources. Sebagai contoh, hutan dianggap sebagai barang gratis yang disediakan alam, sehingga ketentuan untuk memperbaharui setelah pengolahannya dianggap menambah beban biaya produksi dan mengurangi keuntungan.
Keempat, berbagai bentuk sampah, kotoran dan limbah sebagai hasil kegiatan industri tidak masuk biaya perusahaan, demikian juga beban yang diderita pihak lain sebagai akibatnya.
Pada dasarnya masalah pencemaran ini dapat memberikan dampak pada spektrum yang luas karena dapat terjadi pada berbagai lingkungan fisik kehidupan manusia. Sehubungan dengan hal ini, Eitzen (1986: 94) membedakan berbagai bentuk pencemaran antara lain :
1) pencemaran udara yang dapat berasal dari asap mobil, asap pabrik, asap pembakaran minyak, asap pembakaran sampah
2) pencemaran air yang berasal dari pembuangan limbah industri ke sungai, danau, laut atau limbah berbagai jenis pestisida dan pupuk yang digunakan petani
3) pencemaran kimiawi berupa produksi bahan-bahan sintetis yang digunakan sebagai bahan detergen, pupuk, pestisida, plakstik, pakaian
4) limbah padat yang berupa sampah buangan kegiatan individu atau bisnis tertentu
5) polusi panas berupa peningkatan temperatur air dan panas atmosfir yang disebabkan oleh berbagai ulah manusia.
Selain dilihat dari jenis-jenis pencemaran, keluasaan masalah pencemaran dan kelestarian alam juga dapat dilihat dari berbagai dimensi.
Dimensi waktu, karena masalahnya tidak hanya dirasakan pada seat ini akan tetapi terutama di masa mendatang. Berbagai masalah erosi, banjir, abrasi air taut, gangguan kesehatan sebagai akibat berbagai bentuk pencemaran sudah mulai dapat dirasakan saat ini. Di masa mendatang, apabila tidak ada pengendalian dan perubahan sikap masyarakat, dapat diduga masalahnya akan menjadi parah. Ditambah lagi kelangkaan sumber daya alam yang saat ini belum dirasakan, barangkali akan sangat dirasakan pada periode yang akan datang.
Dimensi ruang, karena masalah ini dapat terjadi dalam kawasan manapun, baik kota maupun desa. Dalam masyarakat kota akan lebih terasa adanya masalah di sekitar limbah industri, limbah rumah tangga, sampah dari tempat dan kegiatan umum, peresapan air yang kurang lancar sebagai akibat padatnya bangunan, polusi udara karena padatnya kendaraan bermotor, kekurangan air bersih. Dalam masyarakat desa masalahnya dapat berasal dari pencemaran lingkungan tempat tinggal dan sungai karena belum membudaya perilaku hidup sehat, pencemaran air dan tanah oleh penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi, erosi di daerah hulu di atas lahan kritis dan lahan berlereng tanpa memakai teras, sistem pertanian berpindah dan penebangan hutan secara liar.
Masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan sebagai masalah dalam ruang lingkung nasional. Hal ini disebabkan karena menyangkut keberhasilan pembangunan nasional, khususnya keberhasilan dalam jangka panjang, agar kesejahteraan yang lebih baik dapat juga dinikmati oleh generasi mendatang. Lebih dari itu, masalah ini juga dirasakan sebagai masalah global, dengan demikian menjadi berlevel internasional.

Masalah Sosiai Sebagai Hambatan Pembangunan Masyarakat

Sebagaimana sudah disinggung pada uraian sebelumnya, masalah sosial juga dapat terkait dengan periode saat pembangunan masyarakat sedangi berlangung (on going process). Dalam hal ini bentuk masalah sosial yang tampil dapat berupa masalah pada level individu tetapi dapat pula pada level masyarakat atau sistem. Yang termasuk jenis pertama adalah masalah sosial yang berkaitan dengan perilaku orang per orang sebagai anggota masyarakat seperti tindak kriminal, prostitusi, kenakalan serta berbagai bentuk penyalahgunaan dan kecanduan obat. Sedangkan jenis yang kedua dapat berupa disintegrasi sosial, masalah kependudukan dan kurang berfungsinya berbagai bentuk aturan sosial. Dalam pembahasan lebih lanjut, akan dibicarakan sebuah contoh masalah sosial berupa penyalahgunaan obat seperti narkotik, alkohol beserta implikasinya seperti mabuk, teler dan kecanduan.
Jenis masalah sosial tersebut dapat dilihat sebagai salah setu hambatan pembangunan rnasyarakat, terutama apabila pembangunan masyarakat dipandang sebagai proses pendayagunaan sumber daya dalam rangka pemenuhan kebutuhan guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Termasuk sebagai sumber daya yang memegang peranan panting dalam proses pembangunan masyarakat adalah sumber daya manusia. Nilai strategis sumber daya ini tidak semata-mata terletak pada segi jumlah atau kuantitas, melainkan juga kualitas. Sehubungan dengan haI itu, sebagai bagian dari sumberdaya manusia, warga masyarakat penyandang masalah penyalahgunaan dan kecanduan obat tidak dapat diharapkan tampil dalam kapasitas yang maksimal.
Dengan demikian, potensinya juga tidak dapat diaktualisasikan secara optimal dalarn proses pembangunan masyarakat yang sedang berjalan. Bahkan dalarn kondisi yang lebih parah, penyandang masalah tersebut bukan saja tidak optimal sumbangannya terhadap proses, melainkan justru dapat menjadi beban dan bersifat counter produktif. Lebih-lebih apabila diingat, bahwa dalam pendekatan pembangunan masyarakat, faktor manusia tidak semata-mata diperlakukan sebagai objek atau faktor produksi yang pasif, akan tetapi terutama sebagai subjek dan aktor yang aktif menentukan keseluruhan proses. Keberhasilan pembangunan masyarakat akan sangat ditentukan oleh partisipasi yang nyata dan aktif seluruh warga masyarakat dalam keseluruhan tahap dari proses tersebut.

--> Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Sebetulnya pada mulanya alkohol atau minum-minuman beralkohol Iebih berkaitan dengan fisik. Dalam kedudukan seperti itu, maka efek yang timbul juga terjadi pada segi fisik dan dalam batas-batas kewajaran tidak menimbulkan dampak yang negatif. Dalam tingkat seperti ini alkohol lebih bersifat sebagai jenis minuman biasa, pendorong pencernaan, pendorong agar cepat tidur, perlindungan terhadap kedinginan, sebagai obat suatu penyakit tertentu atau rasa kesakitan (Lemert, 1967 : 72). Dalam perkembangan lebih Ianjut, kernudian bahan ini juga mengandung sisi hubungan antar manusia, dengan demikian juga mempunyai permukaan sosial. Bentuk dan fungsinya kemudian tidak sekedar sebagai sarana relaksasi terhadap kelelahan, tekanan batin, rasa apatis, perasaan terisolir, akan tetapi juga berfungsi sebagai sarana ritual dalam rangka mengembangkan simbol solidaritas serta sebagai sarana untuk jembatan dan pengakraban pergaulan. Bahkan kemudian terasa juga mengandung aspek ekonomi, terutama melalui pajak yang dapat ditarik dari pembuatan dan perdagangan jenis-jenis minuman beralkohol ini.
Hanya saja, dalam proses selanjutnya banyak dijumpai pemakaian yang berlebihan dan tidak wajar sehingga disamping sudah menyimpang dari berbagai fungsi semula, juga dapat mengakibatkan dampak negatif baik secara fisik maupun sosial. Oleh sebab itulah banyak orang mengatakan adanya polarisasi nilai dari minuman beralkohol ini. Disatu pihak diagungkan sebagai kunci kegairahan dan kemuliaan, sedang dilain pihak dianggap merupakan pemacu kesesatan moral kemanusiaan dan penyebab utama penyakit sosial. Berdasarkan pemikiran adanya ambivalensi itulah maka untuk aspek yang negatif digunakan konsep penyalahgunaan, karena pada sisi lain dengan pemakaian yang wajar dan proporsional bahan itu memang bermanfaat.
Ambivalensi nilai terhadap alkohol tersebut muncul dari kenyataan bahwa alkohol dapat menjadi pengubah perilaku. Modifikasi perilaku terjadi melalui proses pemabukan, hal ini secara personal dan sosial merupakan sesuatu yang bersifat destruktif terutama dilihat dari integrasi personal dan sosial. Alkohol dapat membuat senang sekaligus membuat orang menjadi sakit dan tidak bahagia. Dampak paling kentara dari mabuk alkohol adalah perilaku menjadi agresif den kecenderungan pada deviasi dalam perilaku seksual. Secara psikologis, terlalu sering mabuk juga dapat membuat seseorang menterlantarkan atau kurang memperhatikan penampilan dan peranan sosialnya. Banyak nilai yang dikorbankan dari kebiasaan ini misalnya rasa respek terhadap sesama, kehidupan dan integritas keluarga, kesehatan, pekerjaan sehari-hari dan bahkan juga nilai kepercayaan dalam hubungan financial (Lemert, 1967 : 74).
Hal yang kurang lebih sama sebetulnya juga berlaku untuk bahan-bahan kimia lain yang berada dalam kelompok obat-obatan (drug), termasuk di dalamnya bahan-bahan jenis narkotik bahkan yang berasal langsung dari bahan tumbuh-tumbuhan seperti ganja. Drug adalah sebangsa bahan kimia yang dapat mempengaruhi dan membawa efek pada fungsi dari struktur organisme tubuh. Seperti sudah disinggung sebelumnya, jenis-jenis drug ini tadinya dimaksudkan untuk kesenangan dan obat. Dalam banyak hal, penggunaannya memang berkaitan dengan kultur masyarakat disamping perkembangan sosial ekonominya. Sebagai ilustrasi, rata-rata keluarga di Amerika Serikat menyimpan sekitar 30 jenis obat-obatan di dalam lemari obat dan sejumlah minuman beralkohol di lemari minuman (Eitzen,1986 : 492).
Permasalahannya kemudian dapat berakibat pada kebiasaan mabuk dan teler yang dalam jangka panjang bersifat merugikan baik secara fisik, psikologis den sosial. Bahkan dalam proses lebih lanjut, kebiasaan tersebut tidak saja mengakibatkan seseorang menjadi mabuk dan teler tetapi juga mengakibatkan kecanduan (drug addiction). Kecanduan adalah suatu proses seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, yaitu penyalahgunaan dan pemakaian berlebihan yang kemudian mengakibatkan seseorang menjadi tidak berdaya, dalam pengertian kondisi tersebut akan bersifat mengendalikan orang yang bersangkutan, membuatnya berbuat dan berpikir secara tidak konsisten dengan nilai-nilai kepribadiannya dan mendorong orang tersebut menjadi semakin kompulsif dan obsesif (Schaef, 1987 : 18).
Dampak lebih lanjut dari gejala kecanduan ini adalah seseorang akan berkurang kontaknya dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia sekitar. Menurut Schaef, sebetulnya gejala kecanduan ini tidak hanya berupa kecanduan terhadap obat, tetapi juga aktivitas tertentu. la membedakannya menjadi kecanduan substansi dan kecanduan proses. Keduanya berproses dengan cara sama. Kecanduan substansi (substance addictions) atau sering disebut dengan ingestive addiction adalah kecanduan pada substansi tertentu yang biasanya merupakan produk artifisial yang dimasukkan kedalam tubuh secara sengaja. Substansi itu hampir selalu menjurus pada ketergantungan secara fisik. Sebagai contoh adalah alkohol, nikotin, heroin. Sedangkan kecanduan proses (process addiction) terjadi apabila seseorang menjadi terkait dan sulit menghindar dari suatu proses yang merupakan rangkaian spesifik dari aksi dan reaksi. Sebagai contoh dapat disebutkan kebiasaan berjudi, mengumpulkan uang, perilaku seksual.
Pada dasarnya seseorang menjadi kecanduan tidak secara tiba-tiba, akan tetapi melalui suatu proses. Dengan mengambil kasus mariyuana, Becker (dalam Soerjono Soekanto, 1988 : 40) mengatakan, bahwa pemakaian mariyuana merupakan fungsi konsepsi individual mengenai mariyuana dan penggunaannya. Konsepsi itu berkembang sejalan dengan meningkatnya pengalaman penggunaan obat-obat bius. Melalui suatu penelitian khususnya bagi pemakai mariyuana untuk kenikmatan (bukan untuk maksud kompetitif den lambang kedudukan), diketahui bahwa pada tingkat awal seseorang tidak langsung dapat merasakan kenikmatan tersebut. Untuk menuju kesana dibutuhkan proses yang harus melalui beberapa tahap. Tahap-tahap yang dimaksud adalah : mempelajari teknik, belajar mendahami efeknya dan belajar menikmati efek yang timbul.

Sistem Sebagai Satuan Pengamatan, Individu Sebagai Sumber Masalah

Dalam artikel ini akan dibicarakan berbagai pandangan tentang masalah sosial, yang dalam mengidentifikasi masalah menggunakan unit pengamatan masyarakat sebagai suatu kebulatan. Dengan demikian, fokus perhatian untuk melihat adanya masalah sosial bukan pada orang per orang melainkan pada masyarakat sebagai suatu sistem. Apabila masalah sosial dianggap suatu penyakit, maka yang sakit adalah masyarakatnya, bukan perilaku orang per orang sebagai anggota masyarakat. Dengan unit pengamatan seperti itu, maka kemudian dapat diidentifikasi adanya rnasyarakat yang mengalami disorganisasi sosial baik dalam bentuk terpecahnya bagian-bagian atau komponen-komponen dari rnasyarakat sebagai sistem, atau tidak dapat berfungsinya salah satu atau seluruh bagian dari sistem sosial. Gejala lain yang dapat diidentifikasi dengan unit pengamatan seperti ini misalnya adalah terjadinya kondisi keresahan masyarakat yang memuncak (social unrest), ketidakteraturan dan ketidakpastian dalam hidup bermasyarakat, kehidupan sosial yang diwarnai oleh suasana kegelisahan.
Walaupun masalah sosialnya terjadi pada level sistem, akan tetapi sumber masalah dapat berasal dari individu anggota masyarakat yang bersangkutan. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat merupakan suatu kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu. Dengan kata lain, individu merupakan bagian integral dari masyarakat atau sistem sosial tertentu. Kenyataan bahwa masalah sosial pada level sistem ini juga dapat bersumber dari individu, dapat pula dijelaskan dari adanya pandangan tentang indikator sederhana sebagai salah satu cara untuk mengidentifikasi masalah sosial. Menurut paridangan ini, suatu masyarakat dapat dinyatakan mengalami masalah sosial dengan melihat angka statistik untuk hal-hal tertentu seperti angka kejahatan, angka kenakalan, angka bunuh diri. Dari indikator tersebut dapat ditafsirkan, bahwa semakin banyak anggota masyarakat yang melakukan tindakan dan perilaku yang menyimpang akan memberi indikasi bahwa masyarakatnya dalam kondisi yang tidak sehat atau mengalami masalah sosial (Gillin and Gillin, 1954 : 742).

Individu Sebagai Satuan Pengamatan Sekaligus Sumber Masalah

Untuk dapat melakukan identifikasi terhadap keberadaan masalah sosial diperlukan sikap yang peka terhadap gejala sosial. Tanpa sikap seperti itu suatu gejala yang semestinya merupakan masalah tidak cepat disadari, lebih-lebih apabila gejala tersebut bersifat tersembunyi. Oleh sebab itulah studi masalah sosial kemudian mencoba untuk menentukan fokus perhatian yang menjadi satuan pengamatan. Dengan penentuan fokus perhatian tersebut, disamping pengamatan terhadap gejala diharapkan lebih intensif juga akan menjadi lebih terkonsentrasi sehingga lebih mudah melakukan identifikasi. Salah satu unit pengamatan dalam identifikasi masalah sosial adalah individu. Dalam hal ini ada atau tidak adanya gejala yang dianggap sebagai masalah sosial dilihat dari orang per orang sebagai anggota masyarakat. Sudah barang tentu yang dimaksudkan adalah perilakunya. Dengan mengamati perilaku individu dapat diidentifikasi apakah telah terjadi penyimpangan terhadap norma dan nilai sosial serta standar sosial yang berlaku. Dalam pendekatan ini, masalah sosial ditandai dengan adanya sikap dan perilaku anggota masyarakat yang tidak mematuhi aturan-aturan kelompok.
Dalam studi masalah sosial, setelah masalah diidentifikasi maka langkah berikutnya adalah melakukan upaya pemecahan masalah tersebut. Agar dapat melakukan pemecahan masalah secara baik, maka perlu dipahami sumber permasalahannya. Sebagaimana sudah pula disinggung dalam bab pendahuluan, berkaitan dengan hal ini dalam studi masalah sosial dikenal ada dua pandangan utama yaitu, melihat individu sebagai sumber masalah (Individual Blame Approach) dan melihat sistem kehidupan sosial sebagai sumber masalah (System Blame Approach). Sub bab ini akan lebih menyoroti pendekatan yang pertama, artinya melacak sumber masalah dari cacat dan kesalahan yang melekat pada individu. Sebagai suatu contoh masalah anak putus sekolah, misalnya untuk melihat sumber permasalahannya sebagai bagian dari proses diagnosa, Individual Blame Approach cenderung mencarinya dari cacat individual seperti rendahnya IQ, semangat dan motivasi belajar yang kurang, kurangnya anak-anak tersebut mencari referensi yang lebih luas di luar pelajaran sekolah dan masih banyak sumber masalah lain yang melekat pada individu.
Pandangan ini melihat pelaku penyimpangan adalah individu. Untuk mencari sumber permasalahannya, digunakan logika : siapa yang melakukan penyimpangan, dialah yang menjadi sumber masalah tersebut. Apabila cara pandang ini digunakan dalam rangka memahami masalah sosial, maka beberapa konsekuensi teoritik dan implementasinya dalam kebijaksanaan adalah :
(1) Membebaskan pemerintah, sistem ekonomi, struktur sosial, institusi sosial, sistem peradilan, sistem pendidikan dari "tuduhan” sebagai sumber kesalahan.
(2) Karena penyebab masalah adalah faktor individual, maka upaya pemecahan masalah akan lebih banyak bersifat sebagai bentuk konseling, modifikasi perilaku, psycthotheraphy. Pendek kata lebih menekankan pada perubahan personal daripada perubahan sistem.
(3) Memperkuat mitos sosial tentang peranan kontrol individu terhadap nasib seseorang. Dengan demikian, juga memperkokoh pandangan Social Darwinisrn yang beranggapan bahwa penempatan seseorang dalam stratifikasi sosial merupakan fungsi dari kemampuan masing-masing.
Dalam kenyataannya sumber masalah yang berasal dari cacat individual ini dapat diidentifikasi dari berbagai aspek seperti biologis, psikologis dan sosialisasi. Oleh sebab itu, dapat dipahami pula apabila kemudian berkembang teori-teori yang ingin menjelaskan sebab atau sumber individual tersebut melalui pemberian penekanan pada masing-masing aspek.

Hubungan Antar Perspektif masalah sosial

Masalah sosial merupakan suatu gejala sosial yang mempunyai banyak aspek dan banyak dimensi. Oleh sebab itu, usaha untuk memahami gejala tersebut semestinya dibekali oleh suatu pengertian akan adanya kompleksitas dari objek yang akan dipelajari. Lebih lanjut dapat dipahami pula, apabila studi masalah sosial yang lengkap juga menuntut penyesuaian dengan kompleksitas tersebut. Dengan demikian, studi masalah sosial disamping melihat gejala itu sebagai suatu proses, juga dituntut untuk melihatnya dari segala aspek dan dimensi yang terkait.
Berdasarkan pemikiran tersebut semestinya kita juga cukup arif melihat berbagai pendekatan, pandangan dan fokus perhatian yang seolah-olah berbeda satu dengan yang lain. Dilihat dari masalah sosial sebagai suatu proses, dapat dipaharni apabila studi yang dilakukan tidak terbatas sebagai upaya identifikasi permasalahan, akan tetapi juga meliputi usaha memahami dan mempelajari latar belakang, faktor penyebab dan faktor-faktor yang terkait dengan permasalahannya. Bahkan akan lebih fungsional apabila studi masalah sosial juga meliputi usaha untuk mencari jalan pemecahannya. Dilihat dari kenyataan bahwa masalah sosial merupakan gejala multi aspek dan multi dimensi, dapat dipahami pula apabila dijumpai studi masalah sosial yang bervariasi dari sudut aspek yang menjadi fokus perhatiannya. Oleh karena setiap aspek dapat menjadi objek kajian suatu disiplin ilmu tertentu, dan setiap disiplin ilmu tidak jarang melahirkan berbagai perspektif sebagai derivasi dari teori-teori yang dimilikinya, maka tidak mengherankan pula bahwa dalam studi masalah sosial akan ditemukan variasi yang semakin banyak, dilihat dari perspektif yang digunakan.
Berbekal sikap yang mencoba memahami adanya berbagai variasi di sekitar gejala yang disebut masalah sosial tersebut, maka paling tidak dapat diharapkan berbagai keuntungan. Yang pertama, dapat dirumuskan studi masalah sosial yang bersifat komprehensif dengan memperhatikan berbagai aspek dan dimensi yang terkait, sehingga diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi pemecahan masalah yang bersifat komprehensif pula. Yang kedua, dapat melakukan penanganan masalah sosial secara proporsional, dalam pengertian memilih dan menggunakan suatu perspektif yang dianggap paling tepat untuk memahami dan memecahkan masalah berdasarkan sifat, bentuk dan tingkat perkembangan masalah sosial yang dihadapi.
Sudah barang tentu agar dapat melakukan dua alternatif tersebut dituntut untuk memahami pandangan, pola pikir dan pendekatan yang digunakan masing-masing perspektif. Bahkan lebih dari pada itu, juga memahami kekuatan dan kelemaham masing-masing. Dengan posisi seperti ini lebih dapat diharapkan sikap yang adil dan proporsional terhadap setiap perspektif yang ada. Dari pembahasan pada sub bab terdahulu, dapat dilihat kelemahan dan kekuatan masing-masing perspektif tersebut. Perspektif pathologi sosial yang menggunakan analogi dengan organisme biologis, pada tahap awal memang akan lebih mudah dalam membantu memahami gejala yang disebut masalah sosial. Analogi dengan hal yang lebih konkret dan mudah diamati akan lebih mempermudah memahami gejala dan realita yang dihadapi. Walaupun demikian, apabila analogi tersebut berlanjut dalam menganalisis masalah, tanpa disadari dapat mengundang bahaya. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang terdiri dari individu yang masing-masing mempunyai identitas dan kepribadian, memang tidak sepenuhnya sama dengan sistem organisme biologis.
Perspektif disorganisasi sosial, seperti sejarah awal penampilannya akan sangat relevan untuk memahami berbagai gejala masalah sosial dalam masyarakat yang sedang berubah dengan cepat. Sudah barang tentu dibalik itu perlu juga disadari kelemahannya yang pada umumnya sama dengan perspektif pathologi sosial; disamping perlu diingat bahwa gejala disorganisasi sosial seringkali justru merupakan awal gejala perkembangan masyarakat. Perspektif perilaku menyimpang juga mempunyai keunggulan untuk diterapkan dalam masyarakat yang masih sederhana, akan tetapi menjadi tampak kekurangannya manakala digunakan untuk memahami gejala dalam masyarakat yang kompleks dan mengalami perubahan sosial secara pesat. Hal ini disebabkan karena akan sulit untuk menentukan norma yang digunakan sebagai ukuran penyimpangan.
Perspektif yang berlandaskan teori institusional baik perspektif konflik nilai maupun perspektif institusional sangat berguna untuk memahami realitas konflik dalam masyarakat, bahwa tidak semua fakta sosial selalu fungsional positif terhadap struktur. Disamping itu juga sangat relevan untuk mendiagnosa masalah sosial yang bersumber dari kondisi struktural. Walaupun demikian, pemecahan masalah melalui transformasi struktural seringkali membutuhkan sejumlah persyaratan yang tidak setiap pengambil kebijaksanaan berani untuk menghadapi risikonya. Disamping itu, perubahan struktural yang terjadi juga belum tentu menjamin terjadinya distribusi power dan resources yang lebih baik. Dapat saja terjadi struktur masyarakat hasil transformasi akan berproses pada pertentangan antar kelompok dengan isu baru.

Perspektif Masalah Sosial

Perspektif Berdasarkan Teori Interaksionisme Simbolik

--> Perspektif Labeling
Perspektif ini termasuk pendekatan yang relatif baru dalam studi masalah sosial. Sesuai dengan teori yang mendasarinya, perspektif ini mempunyai beberapa perbedaan dalam cara memandang masalah sosial dibandingkan dengan perspektif-perspektif lain yang sudah ada sebelumnya. Perspektif lain memandang kemiskinan, kenakalan, kejahatan sebagai masalah sosial dan dalam studinya sepakat untuk mempertanyakan mengapa dan dalam kondisi bagaimana masalah-masalah tersebut dapat terjadi. Dengan demikian, seakan-akan ada kriteria atau ukuran yang baku untuk mengidentifikasi adanya masalah sosial. Sebaliknya perspektif labeling melihat definisi masalah sosial bersifat subjektif. Oleh sebab itu, perspektif ini lebih tertarik untuk mempersoalkan mengapa dan dalam kondisi bagaimana tindakan tertentu atau situasi tertentu didefinisikan sebagai masalah sosial atau penyimpangan (Julian, 1986: 14).
Suatu tindakan atau situasi dianggap sebagai masalah sosial bersifat relatif, tergantung dari interpretasi masyarakat tertentu atau tergantung bagaimana masyarakat memberi makna terhadap situasi tersebut. Sebagai contoh, perilaku homoseksual di dalam masyarakat tertentu dianggap sebagai perilaku menyimpang dan merupakan salah satu bentuk masalah sosial, akan tetapi dalam masyarakat yang lain dianggap sebagai perilaku yang wajar. Permasalahan pokok menurut perspekstif ini bukan bagaimana mereka berbuat atau melakukan tindakan, akan tetapi bagaimana masyarakat bereaksi terhadap tindakan tertentu. Reaksi masyarakat dianggap merupakan hasil interpretasi masyarakat terhadap tindakan atau situasi yang bersangkutan.
Dalam hal ini, masalah sosial adalah suatu kondisi dimana di dalamnya tingkah laku tertentu atau situasi tertentu oleh masyarakat didefinisikan sebagai masalah sosial. Dengan perkataan lain, ada atau tidak adanya masalah sosial tergantung bagaimana masyarakat mendefinisikan atau memberi makna kondisi tersebut. Dari berbagai pemikiran tersebut Parrillo (1987 30) mengemukakan dua bidang kajian pendeatan ini yaitu:
1) Perspektif labeling menggambarkan bagaimana seseorang dinamakan atau diberi label sakit mental, atau bagaimana seorang remaja dikatakan delinquent dan seterusnya
2) Definisi masalah sosial merupakan hasil negosiasi dari suatu proses sampai dengan masyarakat menganggap bahwa telah terjadi masalah sosial.
Dilihat dari perilaku individual, masalah sosial dapat dianggap sebagai adanya perbedaan interpretasi tentang suatu tindakan antara si aktor (pelaku tindakan) dengan masyarakat. Si aktor memberi makna tindakannya sebagai sesuatu yang wajar, masyarakat memberi makna sebagai suatu penyimpangan. Si aktor dapat memberikan interpretasi yang berbeda dengan lingkungan masyarakatnya, disebabkan oleh karena perbedaan referensi atau kerangka pengalaman yang dijadikan referensi dalam menginterpretasikan tindakan tersebut. Untuk diketahui, bahwa karier devian seringkali terbentuk melalui proses sosial yang panjang. Beberapa diantara aktor tindakan deviasi ini pernah terlibat atau berpartisipasi dalam berbagai bentuk masyarakat yang mengalami kekaburan norma dan pranata sosial, atau dalam masyarakat yang norma dan pranata sosialnya goyah.
Dalam proses lebih lanjut, label yang diberikan masyarakat terhadap tindakan seseorang, bagi si aktor dapat pula merupakan rangsangan yang harus diinterpretasikan untuk diberi makna. Interpretasi dan makna yang diberikan terhadap label tersebut seringkali akan dapat merubah interpretasi aktor terhadap tindakan semula. Dengan demikian dapat terjadi, pada akhirnya si aktor mempunyai interpretasi yang sama dengan masyarakatnya; dalam pengertian tindakan yang tadinya dianggap wajar kemudian diinterpretasikan sendiri oleh si aktor sebagai tindakan yang devian, sehingga tindakan tersebut tidak dilakukan. Dari mekanisme inilah terkandang makna bahwa seseorang belajar perilaku sosial melalui interaksinya dengan orang lain dan melalui proses interaksi tersebut seseorang melakukan interpretasi dalam rangka membentuk konsep diri.
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa hanya perbedaan interpretasi antara individu dan masyarakat yang dapat menyebabkan masalah sosial. Dalam berbagai realita, dapat pula dilihat bahwa interpretasi yang sama dan saling mendukung antara individu dan masyarakat tentang sesuatu tindakan dan situasi justru dapat mendorong terjadinya masalah sosial. Sebagai suatu ilustrasi dapat diketengahkan masalah lanjut usia. Dalam masyarakat barat, masalah ini cenderung berkaitan dengan masalah etika kerja, dan ukuran harga diri seseorang berkenaan dengan terminologi social utility (Parrillo, 1987: 242).
Lanjut usia cenderung mengalami peningkatan ketergantungan kepada arus eksternal disebabkan oleh semakin melemahnya ego, identitas yang tidak menentu dan kurangnya acuan dalam menjalankan peranan sosialnya. Kondisi tersebut mengakibatkan sebagian diantara mereka menjadi merasa tidak berguna dan tidak terpakai. Mereka menginternalisasikan sikap negatif ini dan mengadopsinya dalam bentuk status sebagai warga yang tidak terpakai. Dalam status dan peranan yang mereka interpretasikan sendiri tersebut, mereka berusaha untuk belajar perilaku dan skill yang dianggap sesuai dengan kedudukannya. Siklus negatif terjadi apabila kaum lanjut usia menjadi semakin peka untuk merasa (semakin perasa). sebagai orang yang tidak berguna, apalagi bila masyarakat dan lingkungan keluarga juga mengintepretasikan demikian.


--> Perspektif Perilaku Sosiopathik
Sebetulnya perspektif ini dapat dikatakan merupakan bagian dari perspektif labeling. Walaupun demikian, karena dianggap mempunyai kedudukan yang cukup menonjol diantara sesama teori dalam perspektif labeling, maka dalam tulisan ini akan dibahas tersendiri. Perspektif perilaku sosiopathik pada awalnya dimaksudkan sebagai antisipasi dari berbagai kelemahan pengukuran perilaku devian oleh perspektif yang dibangun dari teori fungsional struktural. Sebagaimana diketahui, menurut perspektif fungsional struktural, suatu perilaku dikatakan menyimpang diukur dari pranata sosial yang ada.
Pendekatan ini kemudian rnenghadapi kendala, karena dalam masyarakat yang kompleks atau masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan sosial yang cepat dapat dijumpai beberapa nilai yang berbeda satu lama lain, bahkan saling bertentangan. Dengan demikian, nilai dan norma sosial sebagai ukuran menjadi sulit untuk diimplementasikan, karena sifatnya relatif dalam waktu dan tempat yang berbeda. Disamping itu juga terkandang masalah di sekitar siapa yang dianggap kompeten untuk melakukan penilaian dan pengukuran. Oleh sebab itu, perilaku devian harus dilihat dan didekati secara relatif pula.
Ada beberapa anggapan dasar yang digunakan oleh perspektif perilaku sosiophatik ini dalam mengembangkan konsep-konsepnya. (Lemert, 1951 : 22).
1) Ada berbagai pola dan ciri khusus dari tingkah laku manusia dan sejumlah deviasi dari ciri-ciri khusus tersebut yang dapat diidentifikasi dan digambarkan pada situasi khusus menurut waktu dan tempat
2) Deviasi tingkah laku itu merupakan fungsi dari konflik kebudayaan yang menampakkan diri melalui organisasi sosial
3) Setiap deviasi akan mendapatkan reaksi masyarakat yang bergerak dari sangat setuju sampai dengan sangat tidak setuju
4) Perilaku sosiopathik adalah deviasi yang menimbulkan akibat reaksi tidak setuju
5) Pribadi yang menyimpang adalah seseorang yang peranan, status, fungsi, dan pemahaman tentang dirinya ditentukan oleh seberapa jauh ia menyimpang, tingkat visibilita sosial, sikap dan penampilannya terhadap reaksi masyarakat dan oleh sifat serta kuatnya reaksi masyarakat
6) Ada pola-pola pembatasan dan kebebasan dalam partisipasi sosial devian, yang berhubungan langsung dengan status, peranan dan pemahaman dirinya
7) Penyimpangan-penyimpangan tersebut diindividuasikan berdasarkan kepekaannya terhadap reaksi masyarakat, oleh karena (a) pribadi bersifat dinamik (b) ada penstrukturan dalam setiap kepribadian yang bekerja sebagai seperangkat pembatas dimana reaksi sosial berpengaruh.
Dari beberapa anggapan dasar tersebut tampak bahwa identifikasi adanya masalah sosial dilihat dari reaksi masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat sendiri yang menentukan adanya masalah sosial. Reaksi masyarakat sebetulnya merupakan hasil interpretasi masyarakat sendiri dalam memberikan makna terhadap suatu tindakan atau suatu situasi. Apabila reaksi masyarakat khususnya reaksi penolakan yang muncul, menandakan bahwa masyarakat memberi makna bahwa tindakan atau situasi tersebut merupakan masalah sosial. Dengan demikian, dapat pula dipahami adanya kemungkinan bahwa dalam masyarakat tertentu suatu tindakan dianggap sebagai masalah, sedang dalam masyarakat lain tidak. Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan interpretasi yang mengakibatkan pula perbedaan dalam memberikan makna terhadap tindakan tersebut.
Perbedaan interpretasi ini dapat disebabkan oleh perbedaan referensi yang digunakan. Sehubungan dengan hal ini Lemert (1951: 51) mengatakan, bahwa reaksi masyarakat akan ditentukan oleh taraf visibilita sosialnya. Bagaimana masyarakat memberi makna terhadap situasi akan ditentukan oleh bagaimana situasi itu menampakkan diri sesuai interpretasi masyarakat. Oleh sebab itu, harus tampak secara lahiriah oleh anggota-anggota masyarakat, sehingga memungkinkan masyarakat memberikan penilaian berdasar referensinya. Dalam hal ini, memang kemudian muncul masalah konseptual; yaitu apabila tindakan atau situasi itu cukup tersamar atau terselubung.
Dalam kondisi semacam ini barangkali reaksi masyarakat tidak muncul karena taraf visibilita sosial rendah. Rendahnya taraf visibilita sosial bukan karena tindakan atau situasi itu diinterprelasikan bukan sebagai masalah sosial, melainkan karena masyarakat tidak melihat peragaan tindakan tersebut. Dapat terjadi apabila tindakan dan situasi itu dapat dilihat, maka masyarakat akan menginterpretasikannya sebagai masalah sosial. Dari kenyataan ini, maka konsep visibilita sosial sebetulnya mengandang dua aspek yaitu aspek penampakan lahiriah atau penampakan peragaan tindakan maupun situasi tersebut secara fisik (lahiriah), dan aspek penampakan sosial dalam arti bagaimana tindakan dan situasi itu tampak sebagai masalah dilihat dari interpretasi masyarakat.

Perspektif Masalah Sosial (Lanjutan)

Perspektif Berdasarkan Teori Konflik

--> Perspektif Konflik Nilai.
Perspektif ini berkembang setelah Perang Dania II, ditengah harapan agar ilmu sosial lebih berperan dan berguna dalam memahami berbagai-gejala sosial yang ada terutama dalam pemecahan masalah sosial. Untuk memahami masalah sosial, perspektif ini memberikan kritik terhadap perspektif yang sudah ada khususnya perspektif pathologi sosial dan perspektif perilaku menyimpang. Hal ini disebabkan karena menurut perspektif konflik nilai, konsep sickness atau sosial expectation merupakan konsep yang subjektif, sehingga sulit untuk dijadikan referensi dalam memahami masalah sosial. Dari pemikiran tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyimpangan terhadap peraturan tidak selalu sama dengan kegagalan dari peraturan tersebut dalam mengendalikan kehidupan bermasyarakat.
Dalam masyarakat yang berkembang semakin kompleks, dapat saja terjadinya penyimpangan peraturan tersebut karena si pelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain yang nilainya berbeda bahkan saling bertentangan. Dalam pola pikir semacam itu, masalah sosial terjadi apabila dua kelompok atau lebih dengan nilai yang berbeda saling berternu dan berkompetisi (Julian, 1986 13). Untuk menjelaskan pengertian tersebut Julian mengambil contoh kasus tuan tanah dengan petani penggarap. Tuan tanah menghendaki sewa tanah dinaikkan, sementara itu petani penyewa mengharapkan sewa tanah yang rendah. Situasi semacam ini dapat mendatangkan konflik, dan konflik tersebut disebabkan oleh karena nilai dan kepentingan berbeda. Konsekuensi lebih lanjut, dalam masyarakat dapat timbul polarisasi.
Masalah sosial mungkin tidak terjadi apabila pihak yang kuat bersedia berkorban bagi yang lemah (terjadi kompromi). Sebaliknya, masalah sosial akan timbul apabila yang kuat justru menggunakan kekuatannya untuk membela kepentingannya. Dalam kenyataannya, situasi konflik tersebut dapat berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu konsensus, trading dan power. Dalam hal hubungan tuan tanah dan petani penyewa yang dijadikan sebagai contoh-kasus, maka alternatif konsensus terjadi apabila tuan tanah dan petani penyewa sepakat bahwa kenaikan sewa tanah dalam jumlah yang tidak terlalu besar masih dapat dipahami bersama. Trading, apabila tuan tanah bersedia menekan kenaikan sewa tanah dengan kompensasi tertentu. Power, apabila tuan tanah mengusir petani penyewa yang tidak memenuhi tuntutan kenaikan sewa.
Dalam format yang berbeda, situasi konflik sebagaimana digambarkan dalam kasus antara tuan tanah dan petani penyewa tersebut, juga dapat terjadi dalam bentuk kehidupan sosial yang lain. Konflik antar generasi misalnya, dapat terjadi karena perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dengan generasi muda. Di satu pihak, generasi tua masih berpegang pada nilai-nilai lama sehingga memandang apa yang dilakukan oleh generasi muda sebagai penyimpangan nilai. Dilain pihak, generasi muda dengan menggunakan orientasi nilai yang baru, memandang generasi tua bersikap kolot. Situasi semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat yang sedang berada pada proses transformasi dan proses perubahan sosial yang pesat. Pada umumnya generasi tua karena proses sosialiasinya telah lebih lama, mengakibatkan nilai-nilai lama telah terinternalisasi dan mengakar dalam kehidupannya. Di lain pihak, generasi muda karena usianya, belum cukup mapan dalam mengadopsi nilai lama serta berkenaan dengan perkembangan kejiwaannya yang masih labil, menyebabkan lebih mudah menerima anasir baru termasuk nilai-nilai baru.
Masalah konflik atau paling tidak terhambatnya proses integrasi antara transmigran dengan penduduk asli seringkali juga didasari oleh perbedaan atau pertentangan nilai. Jangankan perbedaan atau pertentangan nilai inti, sedangkan perbedaan nilai yang menyangkut unsur budaya fisik juga dapat menyulut terjadinya konflik yang bersifat destruktif atau fungsional negatif terhadap integrasi sosial. Apalagi kalau kemudian disadari bahwa diantara kedua belah pihak terdapat juga pertentangan kepentingan sehingga masing-masing pihak berposisi sebagai kelompok kepentingan terhadap yang lain.
Selain contoh-contoh yang sudah disebutkan tadi, masalah sosial yang berasal dari konflik nilai juga dapat dijumpai dalam masyarakat yang kompleks yang mengenal adanya isu minoritas dan mayoritas. Minoritas adalah sekelompok orang yang tidak menerima perlakuan yang sama dibandingkan dengan kelompok orang yang lain dalam masyarakat yang sama (Julian, 1986: 233).
Sehubungan dengan pembahasan tentang masalah ini dikenal tiga terminologi yaitu minoritas rasial, minoritas etnik dan asimilasi. Minoritas rasial terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai karakteristik yang merupakan pembawaan biologis seperti warna kulit. Orang-orang yang berkulit hitam dapat menjadi minoritas di kalangan masyarakat yang mayoritas berkulit putih. Minoritas etnik terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai penampilan budaya yang berbeda dengan yang digunakan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Aspek kultural yang dapat membentuk minoritas tipe ini adalah bahasa, agama, asal kebangsaan, kesamaan sejarah dan sebagainya. Apabila anggota-anggota dari kelompok minoritas baik dari latar belakang ras maupun etnik, menggunakan atau mengadopsi karakteristik dari budaya yang merupakan arus utama dalam lingkungan masyarakat yang luas, melalui adaptasi pola kultural mereka yang "unik" kedalam pola kultur kelompok mayoritas, atau mejalui perkawinan silang, maka terjadilah proses asimilasi.
Sudah barang tentu diantara ketiga fenomena tersebut yang potensial menumbuhkan konflik adalah minoritas rasial dan minoritas etnik, sedang asimilasi cenderung fungsional terhadap struktur karena mendorong integrasi. Potensi kearah konflik akan menjadi semakin bertambah besar apabila kelompok minoritas cenderung bersifat ekslusif sebagaimana disebutkan sebagai lima karakteristik kelompok minoritas berikut ini (Wagley and Harris, dalam Julian: 1986:234).
1) Minoritas adalah merupakan sub-ordinasi dan masyarakat yang kompleks
2) Minoritas cenderung mempunyai ciri fisik atau penampilan budaya khusus yang tidak disukai oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat
3) Minoritas cenderung mengembangkan kesadaran berkelompok dan rasa kebersamaan diantara mereka
4) Anggota anggota kelompok minoritas diwarisi aturan dan nilai turun menurun dari kelompok mereka, untuk mempertahankan karakteristik kelompok pada generasi berikutnya
5) Anggota kelompok minoritas cenderung melakukan endogami atau perkawinan diantara sesama anggota kelompok sendiri.


--> Perspektif Inititusional
Perspektif ini melihat bahwa masalah sosial merupakan salah satu bentuk kondisi sosial. Dengan demikian objek studi tentang masalah sosial adalah masyarakat itu sendiri. Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dari dua alasan :
1) Masyarakatlah yang menimbulkan suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya kerugian fisik dan mental dalam berbagai bagian kehidupan sosial
2) Tindakan dan kondisi yang melanggar norma dan nilai terjadi dalam lingkungan masyarakat. Dengan demikian, basis dari unit analisa untuk memahami masalah sosial adalah masyarakat khususnya struktur sosialnya.
Memang benar, untuk melacak latar belakang terjadinya masalah sosial ada dua pendapat utama, terutama dalam melihat siapa yang bersalah. Kedua pendekatan tersebut adalah The Person Blame Approach dan The Social/System Blame Approach seperti sudah disinggung dalam bab pendahuluan. Person Blame Approach merupakan suatu pendekatan untuk mencari latar belakang maupun faktor penyebab masalah sosial dari segi "cacat" yang ada pada individu. Cacat individual tersebut dapat berupa cacat pembawaan, secara fisik maupun mental, dapat pula berupa cacat kultural. Social/system Blame Approach merupakan pendekatan untuk mencari latar belakang maupun faktor penyebab masalah sosial dari segi "cacat" yang ada pada sistem, pada struktur dan institusi sosial.
Perspektif Institusional cenderung melakukan studi masalah sosial dari pendekatan yang kedua yaitu Social/System Blame Approach. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para pengikut perspektif ini, sehingga cenderung melacak latar belakang masalah sosial dari cacat sistem (Eitzen, 1986 : 17). Pertama, didorong adanya suatu kenyataan bahwa warga masyarakat pada umumnya, instansi kepolisian, pengadilan dan bahkan banyak ahli ilmu sosial cenderung membuat interpretasi tentang masalah sosial dari sudut perspektif individual. Dengan demikian dibutuhkan suatu imbangan karena menurut realitanya masalah sosial juga dapat bersumber dari sistem. Kedua, didasarkan pada pertimbangan, bahwa pokok persoalan ilmu sosial bukan terletak pada aspek individu melainkan masyarakat. Oleh karena ahli ilmu sosial harus menitikberatkan pada determinan sosial dalam rangka mengkaji suatu masalah, maka seharusnya melakukan pembahasan melalui analisis yang kritis tentang struktur sosial. Ketiga,tidak dapat diingkari bahwa kerangka institusional dari suatu masyarakat adalah merupakan sumber masalah sosial (masalah rasial, polusi, distribusi pelayanan kesehatan yang tidak merata, kemiskinan, peperangan dan sebagainya).
Walaupun demikian, agar menjadi cukup proporsional dalam mengaplikasikan pendekatan ini, perlu pula diketahui beberapa kelemahan atau kerawanannya terutama dalam dua hal yang cukup penting. Yang pertama seringkali dilupakan bahwa sistem hanya merupakan sebagian dari kebenaran untuk menjelaskan masalah sosial. Hal ini disebabkan karena masalah sosial mengandang fenomena yang sangat kompleks yang di dalamnya terkandang baik aspek individual maupun aspek sistematik. Kerawanan kedua akan dijumpai apabila orang menggunakan Social/System Blame Approach ini secara dogmatis dalam menjelaskan masalah sosial. Pola pikir yang demikian akan dapat menjurus pada anggapan yang kurang tepat; seolah-olah individu hanya merupakan semacam robot yang sepenuhnya dikendalikan oleh lingkungan sosialnya.
Dengan melihat pola pikir dan sudut pandang yang digunakan oleh perspektif ini, maka akan dapat pula dipahami bagaimana alur berpikir dalam mendiagnosa masalah sosial. Sebagaimana sudah diuraikan terdahulu, pokok perhatian perspektif ini terletak pada struktur sosial. Menurut perspektif ini, masyarakat tersusun dalam suatu struktur dimana sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuatan (power) termasuk penguasaan resources, kesempatan dan peluang yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian, lapisan ini mampu mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam sistem sosialnya. Sebagai akibat lebih lanjut adalah adanya ketimpangan dan distribusi yang tidak merata antara lapisan yang lebih menguasai power, resources dan kesempatan, dibanding lapisan lain.

perspektif masalah sosial

Perspektif Berdasarkan Teori Fungsional Struktural

--> Perspektif Pathologi sosial.
Perspektif ini boleh dikatakan yang relatif paling awal digunakan untuk memahami masalah sosial. Hal ini disebabkan karena landasan pemikirannya merupakan landasan pemikiran yang juga digunakan oleh tokoh-tokoh pendahulu sosiologi khususnya Auguste Comte (Turner 1986 : 9). Menurut Comte, sosiologi adalah studi tentang statika sosial (struktural) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Di dalam membahas struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa masyarakat adalah laksana organisme hidup (Poloma, 1987 : 23). Motivasi penggunaan premis ini semakin ditunjang kenyataan bahwa pada awalnya ilmuwan sosial termasuk ilmuwan sosiologi sangat terkesan dengan kemajuan yang dialami oleh metoda dalam bidang ilmu alam dan teknik. Berdasarkan hal tersebut tidak mengherankan apabila kemudian teori-teori dibangun berdasarkan analogi antara human society dan human body. Keduanya sering disebut dengan vast organisme (organisme besar) (Julian, 1986 :q12).
Salah seorang penerus yang banyak membahas perihal analogi ini adalah Herbert Spencer, seorang ahli sosiologi Inggris yang mencoba menjelaskan berbagai persamaan dan perbedaan yang khusus antara sistem biologis dan sistem sosial. Pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup dapat diringkas dalam butir berikut ini (holoma, 1987 : 24).
1) Masyarakat maupun organisme hidup sama sama mengalami pertumbuhan
2) Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (Sosial body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula. Semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar
3) Tiap bagian yang tumbuh di dalarn tubuh organisme biologis maupun organisme sosial mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula
4) Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya juga perubahan di dalam sistem secara keseluruhan
5) Bagian-bagian tersebut walaupun saling berkaitan merupakan struktur mikro yang dapat dipelajari secara terpisah.
Walaupun demikian, lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan analogi tersebut harus cukup hati-hati, karena sebetulnya masyarakat tidak sepenuhnya mirip dengan organisme hidup. Diantara keduanya terdapat perbedaan yang sangat penting. Di dalam sistem organisme, bagian-bagian tersebut saling terkait dalam suatu hubungan yang intim, sedang dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat seperti itu tidak begitu jelas terlihat, dengan bagian-bagian yang kadang-kadang sangat terpisah.
Bagaimanapun juga analogi human society dengan human body atau sistem sosial dengan sistem organisme biologis ini juga akan terbawa dalam rangka menjelaskan berbagai gejala dan fenomena sosial termasuk di dalamnya untuk menjelaskan masalah sosial. Berdasarkan analogi ini, masalah sosial terjadi apabila individu atau inititusi sosial tidak berhasil dalam mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi dan oleh karena itu akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya organisme sosial. Dalam kondisi seperti ini individu atau inititusi sosial dikatakan dalam keadaan sakit. Sejalan dengan analogi tersebut, Emile Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisme yang memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang keadaan yang bersifat pathologis (Poloma 1987 : 25).
Sudah barang tentu pola pikir dalam perspektif ini selain akan mempengaruhi cara-cara memahami masalahnya juga akan berpengaruh dalam hal cara-cara dan pendekatan guna memecahkan masalah. Dalam hal ini perspektif Pathologi Sosial menggunakan "medical model" dalam pengertian memecahkan masalah sosial beserta segala implikasinya sama halnya dengan mengobati masyarakat yang sakit. Pada mulanya Sosial Pathologist cenderung membuat diagnosa bahwa individu merupakan sumber masalah dalam masyarakat.
Masalah sosial timbul karena individu gagal dalam proses sosialiasi atau individu karena beberapa cacat yang dimilikinya, dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Atas dasar anggapan seperti itu, pemecahan masalah direkomendasikan melalui suatu upaya yang berupa penanganan maupun pencegahan agar tidak terjadi proses pewarisan cacat individual tersebut dari generasi ke generasi. Di samping itu, secara represif dapat dilakukan usaha dengan jalan memisahkan atau mengisolir individu yang rnenyebabkan masalah tersebut dari berbagai hubungan sosial atau bahkan memasukkannya ke dalam penjara. Hal ini dilakukan atas pertimbangan agar "penyakitnya" tidak menular kepada individu lain.
Usaha penyembuhan dengan cara yang lebih maju adalah melalui proses resosialiasi; dalam pengertian membuat individu yang menjadi sumber masalah sosial tersebut agar siap dan mampu untuk berperilaku dan berperan sesuai aturan dan nilai-nilai sosial secara lebih baik. Atau dengan perkataan lain penyembuhan dilakukan dengan memfokuskan pada perubahan aspek moral dan kondisi individu, melalui proses pendidikan. Cara penyembuhan seperti ini jelas menggunakan assumsi bahwa sistem dengan aturan-aturannya dianggap yang paling benar, apabila ada masalah bukan karena kesalahan sistem tetapi kesalahan individu.
Melalui perkembangan lebih lanjut, ada pandangan baru dalam perspektif ini. Pandangan ini ingin mendiagnosa masalah dengan melihat cacat yang ada dalam masyarakat dan inititusi sosialnya. Dengan perkataan lain diagnosa didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat yang immoral (immoral societies) akan menghasilkan individu yang immoral (immoral individu) dan keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya masalah sosial. Masalah sosial berkembang dalam usaha mempertahankan sosial order, yang apabila tidak terpecahkan akan menjurus pada kondisi yang dapat disebut sebagai dehumanize society. Dengan melalui diagnosa semacam ini maka treatment cenderung diarahkan pada orientasi yang apresiatif (appresiative orientation).


--> Perspektif Diaofganiaasi Sosial.
Dasar pemikiran perspektif ini sebetulnya tidak banyak berbeda dengan perspektif pathologi sosial, karena juga menggunakan analogi masyarakat atau sistem sosial sebagai human organism. Perbedaannya, perspektif ini tidak melihat organism tersebut dalam kondisi, sehat atau sakit, melainkan lebih melihatnya sebagai struktur dan fungsi yang organized dan disorganized atau integrated dan disintegrated. Apa yang biasa disebut sistem adalah suatu struktur yang mengandang seperangkat aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan tindak dan aktivitas. Di dalam struktur tersebut terkandang unsur value, status, position dan inititution, (Parrillo,1987 : 27). Menurut perspektif ini, masyarakat menjadi organized disamping karena keserasian hubungan antar bagian juga didukung oleh seperangkat pengharapan/tujuan dan seperangkat aturan (Julian, 1986 : 13).
Dari berbagai pandangan tersebut dapat juga dikatakan, bahwa kondisi yang disebut social disorganization merupakan kebalikan dari social organization. Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa untuk memahami konsep social disorganization perlu pula memahami konsep social organization. Social organization ditandai oleh adanya hubungan yang harmonis diantara elemen yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Elliot and Merrily 1961: 4). Hal yang sebaliknya dapat digunakan untuk mendefinisikan social disorganization, yaitu apabila proses interaksi sosial dan fungsi yang efektif dari kelompok terpecah atau dapat juga dikatakan proses terpecahnya hubungan antar kelompok dalam suatu masyarakat.
Konsep social organization dan disorganization merupakan konsep yang relatif, oleh karena tidak ada masyarakat yang organized atau disorganized sepenuhnya. Sebagai konsep yang relatif, maka dapat dikatakan bahwa ada perbandingan terbalik antara social organization dan social disorganization. Semakin tinggi kadar social disorganization, berarti semakin rendah kadar social organization dalam suatu masyarakat; demikian pula sebaliknya.
Dalam perkembangan lebih lanjut, beberapa penganut perspektif ini tidak sepenuhnya menggunakan analogi human organic. Hal ini disebabkan karena antara masyarakat dengan human organic sebetulnya terdapat perbedaan. Perbedaan utama adalah masyarakat lebih mudah berubah dan lebih lemah dalam menghadapi elemen-elemen baru dan situasi konflik dibandingkan human organic (Parrillo, 1987 : 27). Oleh sebab itu pemahaman masalah sosial melalui perspektif ini pada umumnya dilakukan dalam konteks perubahan sistem. Kehidupan masyarakat bersifat dinamis dan senantiasa berkembang dan tidak jarang berada pada situasi perubahan yang membingungkan. Manusia modern selalu dituntut untuk menyesuaikan dengan situasi seperti ini. Individu, keluarga, masyarakat, negara, dan masyarakat antar bangsa semuanya saling terkait dan saling terlibat dalam berbagai tingkat dan variasi perubahan situasi. Dalam kondisi semacam ini seringkali terjadi bahwa pola-pola tingkah laku dan kepercayaan yang baru belum terbentuk sedang pola lama sudah ditinggalkan. Hubungan antar kelompok mengalami ketegangan. Apabila prosesnya sudah sampai pada suatu kondisi hubungan antar kelompok yang terpecah (atau ekstrimnya berantakan) maka terjadilah gejala disorganisasi sosial (Elliot and Merrill, 1981 : 3).
Beberapa fakta yang dapat menjelaskan kenyataan tersebut diantaranya : petani yang tinggal di atas tanahnya sendiri tetapi merasa terancam bahwa sewaktu-waktu akan tergusur, bahwa petani yang baru saja kehilangan tanahnya tidak segera menemukan pekerjaan baru di kota, norma tradisional terancam oleh harapan-harapan baru dari kehidupan industri; dan masih banyak fenomena yang lain. Dari berbagai gejala dan masalah yang timbul seperti sudah digambarkan tadi, maka kondisi disorganisasi sosial dapat dibedakan menjadi dua yaitu disorganisasi sosial schismatik dan disorganisasi sosial fungsional (Vambriarto, 1973 : 27 ). Disorganisasi sosial schismatik terjadi apabila huhungan diantara atau di dalam kelompok sosial terpecah yang mengakibatkan terjadinya konflik sosial. Disorganisasi sosial fungsional terjadi apabila individu, kelompok atau sistem-sistem dalam masyarakat tidak berfungsi secara wajar.
Langkah lain yang cukup penting dalam studi masalah sosial menurut perspektif disorganisasi sosial ini adalah pengukuran (measurement). Pengukuran dimaksudkan untuk melakukan identifikasi adanya gejala disorganisasi sosial termasuk melihat kadar masalahnya. Salah satu cara pengukuran adalah dengan menggunakan nilai sosial (sosial value), atas dasar pertimbangan bahwa disorganisasi sosial tidak jarang menampakkan diri dalam bentuk konflik nilai. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa nilai sosial sulit diukur, akan tetapi usaha melakukan pengukuran dengan cara ini tetap dilanjutkan. Pengukuran dengan cara ini menggunakan laalgkah-langkah sebagai berikut
1) Menginventarisir sejumlah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta melihat hubungan satu dengan yang lain
2) Mengklasifikasikan nilai-nilai tersebut berdasarkan arti pentingnya dalam kehidupan masyarakat. Arti penting disini dilihat dari kebermaknaan nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat
3) Apabila ditemukan sejumlah besar anggota masyarakat menggunakan nilai-nilai yang berbeda untuk aktivitas-aktivitas yang cukup bermakna, maka disorganisasi sosial telah terjadi.
Cara pengukuran lain adalah dengan index. Index adalah cara pengukuran tidak langsung, yang digunakan apabila cara pengukuran langsung untuk suatu karakteristik tertentu belum ditemukan atau biaya pengukuran langsung cukup mahal. Sebagai suatu contoh penggunaannya adalah, pengukuran disorganisasi keluarga dengan angka perceraian, angka kelahiran anak tidak sah, angka penyakit kotor (penyakit kelamin) dan sebagainya. Contoh lain, Community Disorganization diukur dari angka buta huruf, mobilitas sosial, sekolah yang tidak teratur, korupsi, bunuh diri, kejahatan dan sebagainya.
Untuk memahami masalahnya lebih mendalam dan juga untuk keperluan pemecahan masalah, perlu diketahui latar belakang dari gejala disorganisasi sosial ini. Menurut perspektif ini, disorganisasi sosial terbentuk melalui suatu proses yang berkaitan dengan berbagai fenomena sosial yang lain seperti struktur sosial, perubahan sosial, nilai sosial dan krisis sosial. Dengan demikian latar belakang disorganisasi sosial perlu dilacak dalam kaitannya dengan berbagai fenomena sosial tersebut. Hubungannya dengan struktur sosial dapat dipahami, karena dalam masyarakat yang dinamis, struktur sosial selalu berada dalam proses perubahan yang cepat. Sebagai suatu contoh dapat dikemukakan, bahwa salah satu perubahan itu adalah proses menuju structural specialization.
Beberapa ratus tahun lalu, jenis-jenis pekerjaan : budak, pemilik tanah, tentara dan pedagang boleh dikatakan merupakan "pola baku" yang mewarnai stratifikasi sosial di Amerika. Akan tetapi kemudian industrialisasi, ilmu pengetahuan dan invensi sosial yang lain telah mengakibatkan adanya transformasi dalam struktur sosial. Dalam struktur baru dijumpai jenis pekerjaan yang tak terbilang jumlahnya dan masyarakat terstratifikasi secara kompleks berdasarkan jenis-jenis pekerjaan tersebut. Sebagian berkoalisi untuk suatu tujuan tertentu, sebagian yang lain saling berkompetisi untuk merebut berbagai kesempatan sosial ekonomi. Selain itu, pada satu sisi kelompok berkompetisi karena kepentingan ekonomi, pada sisi lain kelompok terpecah dalam konflik nilai tradisional-modern. Hubungannya dengan perubahan sosial lebih jelas lagi, mengingat dalam perkembangan terakhir perspektif disorganisasi sosial dilihat dalam konteks perubahan.
Keterkaitan dengan perubahan sosial antara lain dapat dipahami secara lebih jelas melalui teori Cultural-Lag. Perubahan dalam salah satu unsur kebudayaan yang tidak segera diikuti oleh unsur yang lain dapat mengganggu hubungan dalam sistem dan menyebabkan disorganisasi sosial. Hubungannya dengan nilai sosial dapat dipahami dari adanya gejala konflik nilai, ketidakpastian nilai dan kekaburan nilai terutama dalam masyarakat yang sedang berubah. Kenyataan tersebut akan mengganggu keserasian hubungan antar unsur dalam sistem sosial. Hubungannya dengan krisis dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa krisis merupakan salah satu hal yang dapat mendorong terjadinya disorganisasi sosial.
Krisis adalah interupsi yang serius di dalam kegiatan-kegiatan yang menjadi adat kebiasaan (customary activities) dari suatu kelompok. Sebagai suatu contoh, depresi besar tahun 1930 an membawa dampak yang cukup luas dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat (Elliot and Merrill, 1962 : 37). Pada periode itu ditandai oleh beberapa hal yang antara lain meningkatnya angka bunuh diri, depresi psikologis, kecanduan minuman keras, kenalakan remaja, anak lahir diluar nikah, pencurian dan sebagainya.


--> Perspektif Perilaku Menyimpang.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, salah satu bentuk fakta sosial menurut paradigma ini adalah pranata sosial. Dengan demikian pranata sosial ini merupakan sesuatu faktor yang ikut menegakkan keteraturan dan keseimbangan dalam sistem sosial, yang berarti juga menegakkan eksistensi dari sistem itu sendiri. Semua kelompok sosial membentuk aturan-aturan dan berusaha menegakkannya, bahkan dalam situasi tertentu memaksakannya. Aturan-aturan sosial membatasi sikap tindakan manusia sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga ada aturan yang melarang, memerintahkan dan membolehkan (Soerjono Soekanto,1988 : 1).
Dalam kedudukan yang demikian, aturan-aturan sosial ini akan berfungsi sebagai pedoman bagi tingkah laku individu maupun kelompok dalam melakukan kehidupan bermasyarakat termasuk dalam saling berinteraksi dengan sesamanya. Ibaratnya orang berlalu lintas di jalan raya, pranata sosial termasuk di dalamnya aturan-aturan sosial ini berfungsi sebagai rambu-rambu lalu lintas yang perlu diketahui dan dipatuhi oleh semua pemakai jalan, agar masing-masing dapat berlalu lintas secara baik dan menghindari kesemerawutan dan kecelakaan. Dari berbagai pandangan tersebut, selanjutnya dapat dikatakan bahwa untuk menjadi warga masyarakat yang baik, perlu dapat terintegrasi kedalam sistem bahkan ikut menegakkan eksistensi dari sistem tersebut. Sudah barang tentu untuk dapat terintegrasi kedalam sistem harus dapat berperilaku sesuai "aturan permainan" yang berlaku. Oleh sebab itu, setiap anggota masyarakat perlu memahami aturan permainan ini dan lebih lanjut menggunakannya sebagai pedoman dalam segenap perilaku dan tindakannya.
Pada dasarnya pemahaman ini diperoleh melalui proses sosialiasi individu dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian, proses sosialiasi tidak lain adalah proses belajar untuk mempelajari pranata soisal termasuk di dalamnya nilai dan norma sosial atau aturan-aturan sosial. Adopsi terhadap nilai dan norma sosial tersebut dapat terjadi melalui proses transfer dari satu pihak ke pihak yang lain termasuk dari generasi ke generasi, serta dapat juga karena adanya unsur sanksi baik formal maupun informal dari sementara aturan sosial tertentu yang dapat memaksa anggota masyarakat untuk mematuhinya.
Melihat pola pikir seperti itu, dapat dipahami apabila menurut perspektif ini masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dianggap menjadi sumber masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandang makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Oleh karena jalur yang harus dilalui tersebut adalah jalur pranata sosial, maka wajar apabila pranata sosial merupakan tolok ukur yang digunakan untuk melihat suatu perilaku menyimpang atau tidak.
Dalam studi tentang perilaku menyimpang ini dapat pula diidentifikasikan adanya dua tipe penyimpangan yaitu penyimpangan murni dan penyimpangan tersembunyi atau penyimpangan terselubung (Soerjono Soekanto, 1988 : 19). Penyimpangan murni adalah perilaku yang tidak mentaati aturan dan juga dianggap demikian oleh pihak lain. Kedua syarat tersebut diperlukan karena dapat saja terjadi, pihak-pihak tertentu menganggap bahwa seseorang melakukan suatu sikap tindak tercela, walaupun sebetulnya dia tidak berbuat demikian. Hal ini dalam dania pengadilan dapat disebut sebagai tuduhan palsu yang oleh kalangan kriminal di Amerika disebut "bum rap". Sebaliknya, dapat saja terjadi seseorang melakukan perbuatan tercela akan tetapi tidak ada yang bereaksi atau melihatnya, sehingga oleh masyarakat dianggap seolah-olah tidak ada masalah. Hal yang terakhir inilah yang kemudian dikenal sebagai tipe penyimpangan terselubung atau tersembunyi.