Selasa, 13 Januari 2009

Masalah Sosial Sebagai Efek Sampingan Pembangunan Masyarakat

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, masalah sosial yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kondisi yang terjadi setelah berlangsungnya suatu aktivitas pembangunan masyarakat. Sebagai proses perubahan yang terencana, sudah jelas bahwa masalah sosial yang timbul tersebut bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Oleh sebab itulah maka lebih tepat disebut sebagai efek sampingan dari proses pembangunan masyarakat. Mengingat bahwa gejala sosial merupakan fenomena yang saling kait mengkait, maka tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan pada aspek yang lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah yang kemudian dikategorikan kedalam masalah sosial.
Efek sampingan yang terjadi dapat bersumber dari dimensi sosial maupun fisik. Yang berasal dari dimensi sosial misalnya memudarnya nilai-nilai sosial masyarakat, merosotnya kekuatan berbagai mengikat norma-norma sosial sehingga menimbulkan bentuk perilaku menyimpang serta ketergantungan masyarakat terhadap pihak lain sebagai akibat sistem intervensi pembangunan yang kurang proporsional. Selo Soemarjan dalam kata pengantar untuk buku Colleta dan Umar Kayam (1987) mengemukakan, bahwa disamping hasil-hasil yang cukup menggembirakan dalam pembangunan ekonomi gaya modern, masyarakat sedang berkembang merasakan kemerosotan yang tidak mengenakkan dari identitas budaya mereka. Sementara itu, hal yang sama juga dirasakan oleh beberapa sarjana ilmu sosial Asia dalam Simposium dengan tema Asian Rethinking of Development (Atal dan Pieris, 1980).
Persoalan yang cukup mendapat sorotan adalah apakah negara-negara sedang berkembang harus mengorbankan kepribadian nasional demi keuntungan-keuntungan ekonomi yang dijanjikan oleh proses modernisasi. Sementara itu, negara-negara Barat yang sudah maju industrinya sedang memperlihatkan tanda-tanda ketegangan dan telah terbukti tidak mampu menjawab tantangan-tantangan sosial budaya yang timbul dari idustrialisasi yang pesat. Salah seorang peserta simposium menunjuk harga yang sangat besar yang harus dibayar pada masa pasca industri dengan memberikan contoh kasus bahwa rata-rata setiap kota di Amerika setup harinya terjadi 50 perbuatan bunuh diri, yang menurut gejalanya disebabkan karena kesepian, rasa takut, kehilangan makna hidup dan perasaan bingung yang tak terhingga.
Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek sampingan dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, kebersihan dan terutama pada kesehatan masyarakat, sedang dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri. Perubahan yang terjadi melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan sesegera mungkin. Dengan demikian, dapat dipahami apabila pembangunan juga aka menyebabkan perubahan lingkungan. Sebagian perubahan lingkungan itu memang sudah direncanakan atau masuk dalam kendali perencanaan.
Walaupun demikian, dalam kenyataannya keluasan dan intensitas perubahan lingkungan selalu lebih besar dari pada yang direncanakan. Oleh sebab itu, dilihat dari perubahan lingkungan tersebut, dikenal adanya efek sampingan dari proses pembangunan yang dapat bersifat positif maupun negatif (Otto Soemarwoto dalam Dasman, 1977 : viii). Dalam uraian lebih lanjut, masalah sosial yang terjadi sebagai efek sampingan proses pembangunan akan dipilih masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan ini sebagai kasus yang akan dibahas. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa masalah ini menyangkut dimensi waktu, tidak saja seat ini akan tetapi juga masa mendatang, disamping juga menyangkut dirnensi ruang tidak saja lokal akan tetapi nasional bahkan global.

--> Intensitas Dan Kompleksitas Masalah
Suatu ekosistem pada dasarnya adalah suatu komunitas biota yang berinteraksi dengan lingkungan fisiknya seperti matahari, air, tanah dan batuan. Dalam ekosistem itu setiap spesies hidup sebagai populasi yang pertumbuhan atau penyusutannya dipengaruhi oleh daya dukung sistem tadi dalam penyediaan keperluaan bagi kehidupan (Dasmann dkk, 1977 : 2). Dengan demikian, pertambahan populasi manusia termasuk perubahan bagi berbagai jenis perilakunya akan dapat mempengaruhi keseimbangan yang ada. Oleh sebab itu, Eitzen (1986 : 91) mengemukakan adanya beberapa faktor dari kekuatan sosial atau manusia dan perilakunya yang berpengaruh terhadap hadirnya masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan. Faktor-faktor tersebut adalah:
1) pertumbuhan penduduk yang pesat dan mengakibatkan meningkatnya permintaan akan makanan, energi dan beberapa produk yang lain
2) konsentrasi penduduk di daerah perkotaan menyebabkan berbagai limbah yang harus diserap oleh ekosistem dan lingkungan
3) proses pembangunan dan modernisasi yang meningkatkan penggunaan teknologi modern dan pola konsumsi.
Dari kenyataan tersebut tampak bahwa proses pembangunan dan modernisasi yang tujuan utamanya adalah mengusahakan perbaikan kondisi kehidupan, pada sisi yang lain juga dapat mendatangkan kerawanan atau paling tidak potensi kerawanan dilihat dari kelestarian lingkungan. Potensi kerawanan tersebut akan semakin dapat dipahami mengingat dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat, melalui proses pembangunan telah dilakukan usaha yang semakin intensif dalam rangka memobilisasi sumber daya termasuk sumber daya alam. Bahkan untuk lebih mengoptimalkan nilai tambah sumber daya tersebut telah dipacu dengan menggunakan teknologi yang semakin canggih. Dengan demikian seolah-olah telah terjadi semacam konflik antara tujuan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi dengan tujuan konservasi atau pencagaran. Kesan adanya konflik semacarn itu akan tampak semakin tajam apabila pandekatan pembangunan yang digunakan lebih berorientasi pada peningkatan produksi yang cepat.
Secara sangat jelas, Emil Salim (1986 : 22) mengemukakan hal itu melalui beberapa dampak lingkungan dari pendekatan pembangunan yang menggunakan pandangan aliran klasik dan Neo Klasik. Diantaranya diungkapan hal-hal sebagai berikut ini.
Pertarna, mekanisme pasar bekerja tanpa pertimbangan lingkungan hidup. Dengan demikian, teknologi produksi dan pola konsumsi dikembangkan tanpa memperhitungkan pengaruhnya terhadap lingkungan. Hal yang sama juga terlihat dari kenyataan bahwa lingkungan hidup telah luput pula dari perhitungan harga dan biaya pembangunan dalam mengejar produksi nasional.
Kedua, tumbuh-tumbuhan, binatang, zat dan benda mati yang tidak atau belum diketahui manfaatnya saat ini akan luput pula dari perhitungan ekonorni pembangunan, sehingga kemusnahannya tidak dirasakan sebagai kerugian.
Ketiga, setiap sumber alam diolah tanpa keharusan memperbaharuinya kembali walaupun termasuk jenis renewable resources. Sebagai contoh, hutan dianggap sebagai barang gratis yang disediakan alam, sehingga ketentuan untuk memperbaharui setelah pengolahannya dianggap menambah beban biaya produksi dan mengurangi keuntungan.
Keempat, berbagai bentuk sampah, kotoran dan limbah sebagai hasil kegiatan industri tidak masuk biaya perusahaan, demikian juga beban yang diderita pihak lain sebagai akibatnya.
Pada dasarnya masalah pencemaran ini dapat memberikan dampak pada spektrum yang luas karena dapat terjadi pada berbagai lingkungan fisik kehidupan manusia. Sehubungan dengan hal ini, Eitzen (1986: 94) membedakan berbagai bentuk pencemaran antara lain :
1) pencemaran udara yang dapat berasal dari asap mobil, asap pabrik, asap pembakaran minyak, asap pembakaran sampah
2) pencemaran air yang berasal dari pembuangan limbah industri ke sungai, danau, laut atau limbah berbagai jenis pestisida dan pupuk yang digunakan petani
3) pencemaran kimiawi berupa produksi bahan-bahan sintetis yang digunakan sebagai bahan detergen, pupuk, pestisida, plakstik, pakaian
4) limbah padat yang berupa sampah buangan kegiatan individu atau bisnis tertentu
5) polusi panas berupa peningkatan temperatur air dan panas atmosfir yang disebabkan oleh berbagai ulah manusia.
Selain dilihat dari jenis-jenis pencemaran, keluasaan masalah pencemaran dan kelestarian alam juga dapat dilihat dari berbagai dimensi.
Dimensi waktu, karena masalahnya tidak hanya dirasakan pada seat ini akan tetapi terutama di masa mendatang. Berbagai masalah erosi, banjir, abrasi air taut, gangguan kesehatan sebagai akibat berbagai bentuk pencemaran sudah mulai dapat dirasakan saat ini. Di masa mendatang, apabila tidak ada pengendalian dan perubahan sikap masyarakat, dapat diduga masalahnya akan menjadi parah. Ditambah lagi kelangkaan sumber daya alam yang saat ini belum dirasakan, barangkali akan sangat dirasakan pada periode yang akan datang.
Dimensi ruang, karena masalah ini dapat terjadi dalam kawasan manapun, baik kota maupun desa. Dalam masyarakat kota akan lebih terasa adanya masalah di sekitar limbah industri, limbah rumah tangga, sampah dari tempat dan kegiatan umum, peresapan air yang kurang lancar sebagai akibat padatnya bangunan, polusi udara karena padatnya kendaraan bermotor, kekurangan air bersih. Dalam masyarakat desa masalahnya dapat berasal dari pencemaran lingkungan tempat tinggal dan sungai karena belum membudaya perilaku hidup sehat, pencemaran air dan tanah oleh penggunaan pestisida dan pupuk kimiawi, erosi di daerah hulu di atas lahan kritis dan lahan berlereng tanpa memakai teras, sistem pertanian berpindah dan penebangan hutan secara liar.
Masalah pencemaran dan kelestarian lingkungan sebagai masalah dalam ruang lingkung nasional. Hal ini disebabkan karena menyangkut keberhasilan pembangunan nasional, khususnya keberhasilan dalam jangka panjang, agar kesejahteraan yang lebih baik dapat juga dinikmati oleh generasi mendatang. Lebih dari itu, masalah ini juga dirasakan sebagai masalah global, dengan demikian menjadi berlevel internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar