Selasa, 13 Januari 2009

perspektif masalah sosial

Perspektif Berdasarkan Teori Fungsional Struktural

--> Perspektif Pathologi sosial.
Perspektif ini boleh dikatakan yang relatif paling awal digunakan untuk memahami masalah sosial. Hal ini disebabkan karena landasan pemikirannya merupakan landasan pemikiran yang juga digunakan oleh tokoh-tokoh pendahulu sosiologi khususnya Auguste Comte (Turner 1986 : 9). Menurut Comte, sosiologi adalah studi tentang statika sosial (struktural) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Di dalam membahas struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa masyarakat adalah laksana organisme hidup (Poloma, 1987 : 23). Motivasi penggunaan premis ini semakin ditunjang kenyataan bahwa pada awalnya ilmuwan sosial termasuk ilmuwan sosiologi sangat terkesan dengan kemajuan yang dialami oleh metoda dalam bidang ilmu alam dan teknik. Berdasarkan hal tersebut tidak mengherankan apabila kemudian teori-teori dibangun berdasarkan analogi antara human society dan human body. Keduanya sering disebut dengan vast organisme (organisme besar) (Julian, 1986 :q12).
Salah seorang penerus yang banyak membahas perihal analogi ini adalah Herbert Spencer, seorang ahli sosiologi Inggris yang mencoba menjelaskan berbagai persamaan dan perbedaan yang khusus antara sistem biologis dan sistem sosial. Pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup dapat diringkas dalam butir berikut ini (holoma, 1987 : 24).
1) Masyarakat maupun organisme hidup sama sama mengalami pertumbuhan
2) Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (Sosial body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula. Semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar
3) Tiap bagian yang tumbuh di dalarn tubuh organisme biologis maupun organisme sosial mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula
4) Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya juga perubahan di dalam sistem secara keseluruhan
5) Bagian-bagian tersebut walaupun saling berkaitan merupakan struktur mikro yang dapat dipelajari secara terpisah.
Walaupun demikian, lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan analogi tersebut harus cukup hati-hati, karena sebetulnya masyarakat tidak sepenuhnya mirip dengan organisme hidup. Diantara keduanya terdapat perbedaan yang sangat penting. Di dalam sistem organisme, bagian-bagian tersebut saling terkait dalam suatu hubungan yang intim, sedang dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat seperti itu tidak begitu jelas terlihat, dengan bagian-bagian yang kadang-kadang sangat terpisah.
Bagaimanapun juga analogi human society dengan human body atau sistem sosial dengan sistem organisme biologis ini juga akan terbawa dalam rangka menjelaskan berbagai gejala dan fenomena sosial termasuk di dalamnya untuk menjelaskan masalah sosial. Berdasarkan analogi ini, masalah sosial terjadi apabila individu atau inititusi sosial tidak berhasil dalam mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi dan oleh karena itu akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya organisme sosial. Dalam kondisi seperti ini individu atau inititusi sosial dikatakan dalam keadaan sakit. Sejalan dengan analogi tersebut, Emile Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisme yang memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang keadaan yang bersifat pathologis (Poloma 1987 : 25).
Sudah barang tentu pola pikir dalam perspektif ini selain akan mempengaruhi cara-cara memahami masalahnya juga akan berpengaruh dalam hal cara-cara dan pendekatan guna memecahkan masalah. Dalam hal ini perspektif Pathologi Sosial menggunakan "medical model" dalam pengertian memecahkan masalah sosial beserta segala implikasinya sama halnya dengan mengobati masyarakat yang sakit. Pada mulanya Sosial Pathologist cenderung membuat diagnosa bahwa individu merupakan sumber masalah dalam masyarakat.
Masalah sosial timbul karena individu gagal dalam proses sosialiasi atau individu karena beberapa cacat yang dimilikinya, dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Atas dasar anggapan seperti itu, pemecahan masalah direkomendasikan melalui suatu upaya yang berupa penanganan maupun pencegahan agar tidak terjadi proses pewarisan cacat individual tersebut dari generasi ke generasi. Di samping itu, secara represif dapat dilakukan usaha dengan jalan memisahkan atau mengisolir individu yang rnenyebabkan masalah tersebut dari berbagai hubungan sosial atau bahkan memasukkannya ke dalam penjara. Hal ini dilakukan atas pertimbangan agar "penyakitnya" tidak menular kepada individu lain.
Usaha penyembuhan dengan cara yang lebih maju adalah melalui proses resosialiasi; dalam pengertian membuat individu yang menjadi sumber masalah sosial tersebut agar siap dan mampu untuk berperilaku dan berperan sesuai aturan dan nilai-nilai sosial secara lebih baik. Atau dengan perkataan lain penyembuhan dilakukan dengan memfokuskan pada perubahan aspek moral dan kondisi individu, melalui proses pendidikan. Cara penyembuhan seperti ini jelas menggunakan assumsi bahwa sistem dengan aturan-aturannya dianggap yang paling benar, apabila ada masalah bukan karena kesalahan sistem tetapi kesalahan individu.
Melalui perkembangan lebih lanjut, ada pandangan baru dalam perspektif ini. Pandangan ini ingin mendiagnosa masalah dengan melihat cacat yang ada dalam masyarakat dan inititusi sosialnya. Dengan perkataan lain diagnosa didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat yang immoral (immoral societies) akan menghasilkan individu yang immoral (immoral individu) dan keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya masalah sosial. Masalah sosial berkembang dalam usaha mempertahankan sosial order, yang apabila tidak terpecahkan akan menjurus pada kondisi yang dapat disebut sebagai dehumanize society. Dengan melalui diagnosa semacam ini maka treatment cenderung diarahkan pada orientasi yang apresiatif (appresiative orientation).


--> Perspektif Diaofganiaasi Sosial.
Dasar pemikiran perspektif ini sebetulnya tidak banyak berbeda dengan perspektif pathologi sosial, karena juga menggunakan analogi masyarakat atau sistem sosial sebagai human organism. Perbedaannya, perspektif ini tidak melihat organism tersebut dalam kondisi, sehat atau sakit, melainkan lebih melihatnya sebagai struktur dan fungsi yang organized dan disorganized atau integrated dan disintegrated. Apa yang biasa disebut sistem adalah suatu struktur yang mengandang seperangkat aturan, norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan tindak dan aktivitas. Di dalam struktur tersebut terkandang unsur value, status, position dan inititution, (Parrillo,1987 : 27). Menurut perspektif ini, masyarakat menjadi organized disamping karena keserasian hubungan antar bagian juga didukung oleh seperangkat pengharapan/tujuan dan seperangkat aturan (Julian, 1986 : 13).
Dari berbagai pandangan tersebut dapat juga dikatakan, bahwa kondisi yang disebut social disorganization merupakan kebalikan dari social organization. Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa untuk memahami konsep social disorganization perlu pula memahami konsep social organization. Social organization ditandai oleh adanya hubungan yang harmonis diantara elemen yang berbeda dalam suatu sistem sosial (Elliot and Merrily 1961: 4). Hal yang sebaliknya dapat digunakan untuk mendefinisikan social disorganization, yaitu apabila proses interaksi sosial dan fungsi yang efektif dari kelompok terpecah atau dapat juga dikatakan proses terpecahnya hubungan antar kelompok dalam suatu masyarakat.
Konsep social organization dan disorganization merupakan konsep yang relatif, oleh karena tidak ada masyarakat yang organized atau disorganized sepenuhnya. Sebagai konsep yang relatif, maka dapat dikatakan bahwa ada perbandingan terbalik antara social organization dan social disorganization. Semakin tinggi kadar social disorganization, berarti semakin rendah kadar social organization dalam suatu masyarakat; demikian pula sebaliknya.
Dalam perkembangan lebih lanjut, beberapa penganut perspektif ini tidak sepenuhnya menggunakan analogi human organic. Hal ini disebabkan karena antara masyarakat dengan human organic sebetulnya terdapat perbedaan. Perbedaan utama adalah masyarakat lebih mudah berubah dan lebih lemah dalam menghadapi elemen-elemen baru dan situasi konflik dibandingkan human organic (Parrillo, 1987 : 27). Oleh sebab itu pemahaman masalah sosial melalui perspektif ini pada umumnya dilakukan dalam konteks perubahan sistem. Kehidupan masyarakat bersifat dinamis dan senantiasa berkembang dan tidak jarang berada pada situasi perubahan yang membingungkan. Manusia modern selalu dituntut untuk menyesuaikan dengan situasi seperti ini. Individu, keluarga, masyarakat, negara, dan masyarakat antar bangsa semuanya saling terkait dan saling terlibat dalam berbagai tingkat dan variasi perubahan situasi. Dalam kondisi semacam ini seringkali terjadi bahwa pola-pola tingkah laku dan kepercayaan yang baru belum terbentuk sedang pola lama sudah ditinggalkan. Hubungan antar kelompok mengalami ketegangan. Apabila prosesnya sudah sampai pada suatu kondisi hubungan antar kelompok yang terpecah (atau ekstrimnya berantakan) maka terjadilah gejala disorganisasi sosial (Elliot and Merrill, 1981 : 3).
Beberapa fakta yang dapat menjelaskan kenyataan tersebut diantaranya : petani yang tinggal di atas tanahnya sendiri tetapi merasa terancam bahwa sewaktu-waktu akan tergusur, bahwa petani yang baru saja kehilangan tanahnya tidak segera menemukan pekerjaan baru di kota, norma tradisional terancam oleh harapan-harapan baru dari kehidupan industri; dan masih banyak fenomena yang lain. Dari berbagai gejala dan masalah yang timbul seperti sudah digambarkan tadi, maka kondisi disorganisasi sosial dapat dibedakan menjadi dua yaitu disorganisasi sosial schismatik dan disorganisasi sosial fungsional (Vambriarto, 1973 : 27 ). Disorganisasi sosial schismatik terjadi apabila huhungan diantara atau di dalam kelompok sosial terpecah yang mengakibatkan terjadinya konflik sosial. Disorganisasi sosial fungsional terjadi apabila individu, kelompok atau sistem-sistem dalam masyarakat tidak berfungsi secara wajar.
Langkah lain yang cukup penting dalam studi masalah sosial menurut perspektif disorganisasi sosial ini adalah pengukuran (measurement). Pengukuran dimaksudkan untuk melakukan identifikasi adanya gejala disorganisasi sosial termasuk melihat kadar masalahnya. Salah satu cara pengukuran adalah dengan menggunakan nilai sosial (sosial value), atas dasar pertimbangan bahwa disorganisasi sosial tidak jarang menampakkan diri dalam bentuk konflik nilai. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa nilai sosial sulit diukur, akan tetapi usaha melakukan pengukuran dengan cara ini tetap dilanjutkan. Pengukuran dengan cara ini menggunakan laalgkah-langkah sebagai berikut
1) Menginventarisir sejumlah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta melihat hubungan satu dengan yang lain
2) Mengklasifikasikan nilai-nilai tersebut berdasarkan arti pentingnya dalam kehidupan masyarakat. Arti penting disini dilihat dari kebermaknaan nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat
3) Apabila ditemukan sejumlah besar anggota masyarakat menggunakan nilai-nilai yang berbeda untuk aktivitas-aktivitas yang cukup bermakna, maka disorganisasi sosial telah terjadi.
Cara pengukuran lain adalah dengan index. Index adalah cara pengukuran tidak langsung, yang digunakan apabila cara pengukuran langsung untuk suatu karakteristik tertentu belum ditemukan atau biaya pengukuran langsung cukup mahal. Sebagai suatu contoh penggunaannya adalah, pengukuran disorganisasi keluarga dengan angka perceraian, angka kelahiran anak tidak sah, angka penyakit kotor (penyakit kelamin) dan sebagainya. Contoh lain, Community Disorganization diukur dari angka buta huruf, mobilitas sosial, sekolah yang tidak teratur, korupsi, bunuh diri, kejahatan dan sebagainya.
Untuk memahami masalahnya lebih mendalam dan juga untuk keperluan pemecahan masalah, perlu diketahui latar belakang dari gejala disorganisasi sosial ini. Menurut perspektif ini, disorganisasi sosial terbentuk melalui suatu proses yang berkaitan dengan berbagai fenomena sosial yang lain seperti struktur sosial, perubahan sosial, nilai sosial dan krisis sosial. Dengan demikian latar belakang disorganisasi sosial perlu dilacak dalam kaitannya dengan berbagai fenomena sosial tersebut. Hubungannya dengan struktur sosial dapat dipahami, karena dalam masyarakat yang dinamis, struktur sosial selalu berada dalam proses perubahan yang cepat. Sebagai suatu contoh dapat dikemukakan, bahwa salah satu perubahan itu adalah proses menuju structural specialization.
Beberapa ratus tahun lalu, jenis-jenis pekerjaan : budak, pemilik tanah, tentara dan pedagang boleh dikatakan merupakan "pola baku" yang mewarnai stratifikasi sosial di Amerika. Akan tetapi kemudian industrialisasi, ilmu pengetahuan dan invensi sosial yang lain telah mengakibatkan adanya transformasi dalam struktur sosial. Dalam struktur baru dijumpai jenis pekerjaan yang tak terbilang jumlahnya dan masyarakat terstratifikasi secara kompleks berdasarkan jenis-jenis pekerjaan tersebut. Sebagian berkoalisi untuk suatu tujuan tertentu, sebagian yang lain saling berkompetisi untuk merebut berbagai kesempatan sosial ekonomi. Selain itu, pada satu sisi kelompok berkompetisi karena kepentingan ekonomi, pada sisi lain kelompok terpecah dalam konflik nilai tradisional-modern. Hubungannya dengan perubahan sosial lebih jelas lagi, mengingat dalam perkembangan terakhir perspektif disorganisasi sosial dilihat dalam konteks perubahan.
Keterkaitan dengan perubahan sosial antara lain dapat dipahami secara lebih jelas melalui teori Cultural-Lag. Perubahan dalam salah satu unsur kebudayaan yang tidak segera diikuti oleh unsur yang lain dapat mengganggu hubungan dalam sistem dan menyebabkan disorganisasi sosial. Hubungannya dengan nilai sosial dapat dipahami dari adanya gejala konflik nilai, ketidakpastian nilai dan kekaburan nilai terutama dalam masyarakat yang sedang berubah. Kenyataan tersebut akan mengganggu keserasian hubungan antar unsur dalam sistem sosial. Hubungannya dengan krisis dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa krisis merupakan salah satu hal yang dapat mendorong terjadinya disorganisasi sosial.
Krisis adalah interupsi yang serius di dalam kegiatan-kegiatan yang menjadi adat kebiasaan (customary activities) dari suatu kelompok. Sebagai suatu contoh, depresi besar tahun 1930 an membawa dampak yang cukup luas dalam kehidupan masyarakat Amerika Serikat (Elliot and Merrill, 1962 : 37). Pada periode itu ditandai oleh beberapa hal yang antara lain meningkatnya angka bunuh diri, depresi psikologis, kecanduan minuman keras, kenalakan remaja, anak lahir diluar nikah, pencurian dan sebagainya.


--> Perspektif Perilaku Menyimpang.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, salah satu bentuk fakta sosial menurut paradigma ini adalah pranata sosial. Dengan demikian pranata sosial ini merupakan sesuatu faktor yang ikut menegakkan keteraturan dan keseimbangan dalam sistem sosial, yang berarti juga menegakkan eksistensi dari sistem itu sendiri. Semua kelompok sosial membentuk aturan-aturan dan berusaha menegakkannya, bahkan dalam situasi tertentu memaksakannya. Aturan-aturan sosial membatasi sikap tindakan manusia sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga ada aturan yang melarang, memerintahkan dan membolehkan (Soerjono Soekanto,1988 : 1).
Dalam kedudukan yang demikian, aturan-aturan sosial ini akan berfungsi sebagai pedoman bagi tingkah laku individu maupun kelompok dalam melakukan kehidupan bermasyarakat termasuk dalam saling berinteraksi dengan sesamanya. Ibaratnya orang berlalu lintas di jalan raya, pranata sosial termasuk di dalamnya aturan-aturan sosial ini berfungsi sebagai rambu-rambu lalu lintas yang perlu diketahui dan dipatuhi oleh semua pemakai jalan, agar masing-masing dapat berlalu lintas secara baik dan menghindari kesemerawutan dan kecelakaan. Dari berbagai pandangan tersebut, selanjutnya dapat dikatakan bahwa untuk menjadi warga masyarakat yang baik, perlu dapat terintegrasi kedalam sistem bahkan ikut menegakkan eksistensi dari sistem tersebut. Sudah barang tentu untuk dapat terintegrasi kedalam sistem harus dapat berperilaku sesuai "aturan permainan" yang berlaku. Oleh sebab itu, setiap anggota masyarakat perlu memahami aturan permainan ini dan lebih lanjut menggunakannya sebagai pedoman dalam segenap perilaku dan tindakannya.
Pada dasarnya pemahaman ini diperoleh melalui proses sosialiasi individu dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian, proses sosialiasi tidak lain adalah proses belajar untuk mempelajari pranata soisal termasuk di dalamnya nilai dan norma sosial atau aturan-aturan sosial. Adopsi terhadap nilai dan norma sosial tersebut dapat terjadi melalui proses transfer dari satu pihak ke pihak yang lain termasuk dari generasi ke generasi, serta dapat juga karena adanya unsur sanksi baik formal maupun informal dari sementara aturan sosial tertentu yang dapat memaksa anggota masyarakat untuk mematuhinya.
Melihat pola pikir seperti itu, dapat dipahami apabila menurut perspektif ini masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dianggap menjadi sumber masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandang makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang. Oleh karena jalur yang harus dilalui tersebut adalah jalur pranata sosial, maka wajar apabila pranata sosial merupakan tolok ukur yang digunakan untuk melihat suatu perilaku menyimpang atau tidak.
Dalam studi tentang perilaku menyimpang ini dapat pula diidentifikasikan adanya dua tipe penyimpangan yaitu penyimpangan murni dan penyimpangan tersembunyi atau penyimpangan terselubung (Soerjono Soekanto, 1988 : 19). Penyimpangan murni adalah perilaku yang tidak mentaati aturan dan juga dianggap demikian oleh pihak lain. Kedua syarat tersebut diperlukan karena dapat saja terjadi, pihak-pihak tertentu menganggap bahwa seseorang melakukan suatu sikap tindak tercela, walaupun sebetulnya dia tidak berbuat demikian. Hal ini dalam dania pengadilan dapat disebut sebagai tuduhan palsu yang oleh kalangan kriminal di Amerika disebut "bum rap". Sebaliknya, dapat saja terjadi seseorang melakukan perbuatan tercela akan tetapi tidak ada yang bereaksi atau melihatnya, sehingga oleh masyarakat dianggap seolah-olah tidak ada masalah. Hal yang terakhir inilah yang kemudian dikenal sebagai tipe penyimpangan terselubung atau tersembunyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar