Selasa, 13 Januari 2009

Perspektif Masalah Sosial (Lanjutan)

Perspektif Berdasarkan Teori Konflik

--> Perspektif Konflik Nilai.
Perspektif ini berkembang setelah Perang Dania II, ditengah harapan agar ilmu sosial lebih berperan dan berguna dalam memahami berbagai-gejala sosial yang ada terutama dalam pemecahan masalah sosial. Untuk memahami masalah sosial, perspektif ini memberikan kritik terhadap perspektif yang sudah ada khususnya perspektif pathologi sosial dan perspektif perilaku menyimpang. Hal ini disebabkan karena menurut perspektif konflik nilai, konsep sickness atau sosial expectation merupakan konsep yang subjektif, sehingga sulit untuk dijadikan referensi dalam memahami masalah sosial. Dari pemikiran tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyimpangan terhadap peraturan tidak selalu sama dengan kegagalan dari peraturan tersebut dalam mengendalikan kehidupan bermasyarakat.
Dalam masyarakat yang berkembang semakin kompleks, dapat saja terjadinya penyimpangan peraturan tersebut karena si pelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain yang nilainya berbeda bahkan saling bertentangan. Dalam pola pikir semacam itu, masalah sosial terjadi apabila dua kelompok atau lebih dengan nilai yang berbeda saling berternu dan berkompetisi (Julian, 1986 13). Untuk menjelaskan pengertian tersebut Julian mengambil contoh kasus tuan tanah dengan petani penggarap. Tuan tanah menghendaki sewa tanah dinaikkan, sementara itu petani penyewa mengharapkan sewa tanah yang rendah. Situasi semacam ini dapat mendatangkan konflik, dan konflik tersebut disebabkan oleh karena nilai dan kepentingan berbeda. Konsekuensi lebih lanjut, dalam masyarakat dapat timbul polarisasi.
Masalah sosial mungkin tidak terjadi apabila pihak yang kuat bersedia berkorban bagi yang lemah (terjadi kompromi). Sebaliknya, masalah sosial akan timbul apabila yang kuat justru menggunakan kekuatannya untuk membela kepentingannya. Dalam kenyataannya, situasi konflik tersebut dapat berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu konsensus, trading dan power. Dalam hal hubungan tuan tanah dan petani penyewa yang dijadikan sebagai contoh-kasus, maka alternatif konsensus terjadi apabila tuan tanah dan petani penyewa sepakat bahwa kenaikan sewa tanah dalam jumlah yang tidak terlalu besar masih dapat dipahami bersama. Trading, apabila tuan tanah bersedia menekan kenaikan sewa tanah dengan kompensasi tertentu. Power, apabila tuan tanah mengusir petani penyewa yang tidak memenuhi tuntutan kenaikan sewa.
Dalam format yang berbeda, situasi konflik sebagaimana digambarkan dalam kasus antara tuan tanah dan petani penyewa tersebut, juga dapat terjadi dalam bentuk kehidupan sosial yang lain. Konflik antar generasi misalnya, dapat terjadi karena perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dengan generasi muda. Di satu pihak, generasi tua masih berpegang pada nilai-nilai lama sehingga memandang apa yang dilakukan oleh generasi muda sebagai penyimpangan nilai. Dilain pihak, generasi muda dengan menggunakan orientasi nilai yang baru, memandang generasi tua bersikap kolot. Situasi semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat yang sedang berada pada proses transformasi dan proses perubahan sosial yang pesat. Pada umumnya generasi tua karena proses sosialiasinya telah lebih lama, mengakibatkan nilai-nilai lama telah terinternalisasi dan mengakar dalam kehidupannya. Di lain pihak, generasi muda karena usianya, belum cukup mapan dalam mengadopsi nilai lama serta berkenaan dengan perkembangan kejiwaannya yang masih labil, menyebabkan lebih mudah menerima anasir baru termasuk nilai-nilai baru.
Masalah konflik atau paling tidak terhambatnya proses integrasi antara transmigran dengan penduduk asli seringkali juga didasari oleh perbedaan atau pertentangan nilai. Jangankan perbedaan atau pertentangan nilai inti, sedangkan perbedaan nilai yang menyangkut unsur budaya fisik juga dapat menyulut terjadinya konflik yang bersifat destruktif atau fungsional negatif terhadap integrasi sosial. Apalagi kalau kemudian disadari bahwa diantara kedua belah pihak terdapat juga pertentangan kepentingan sehingga masing-masing pihak berposisi sebagai kelompok kepentingan terhadap yang lain.
Selain contoh-contoh yang sudah disebutkan tadi, masalah sosial yang berasal dari konflik nilai juga dapat dijumpai dalam masyarakat yang kompleks yang mengenal adanya isu minoritas dan mayoritas. Minoritas adalah sekelompok orang yang tidak menerima perlakuan yang sama dibandingkan dengan kelompok orang yang lain dalam masyarakat yang sama (Julian, 1986: 233).
Sehubungan dengan pembahasan tentang masalah ini dikenal tiga terminologi yaitu minoritas rasial, minoritas etnik dan asimilasi. Minoritas rasial terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai karakteristik yang merupakan pembawaan biologis seperti warna kulit. Orang-orang yang berkulit hitam dapat menjadi minoritas di kalangan masyarakat yang mayoritas berkulit putih. Minoritas etnik terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai penampilan budaya yang berbeda dengan yang digunakan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Aspek kultural yang dapat membentuk minoritas tipe ini adalah bahasa, agama, asal kebangsaan, kesamaan sejarah dan sebagainya. Apabila anggota-anggota dari kelompok minoritas baik dari latar belakang ras maupun etnik, menggunakan atau mengadopsi karakteristik dari budaya yang merupakan arus utama dalam lingkungan masyarakat yang luas, melalui adaptasi pola kultural mereka yang "unik" kedalam pola kultur kelompok mayoritas, atau mejalui perkawinan silang, maka terjadilah proses asimilasi.
Sudah barang tentu diantara ketiga fenomena tersebut yang potensial menumbuhkan konflik adalah minoritas rasial dan minoritas etnik, sedang asimilasi cenderung fungsional terhadap struktur karena mendorong integrasi. Potensi kearah konflik akan menjadi semakin bertambah besar apabila kelompok minoritas cenderung bersifat ekslusif sebagaimana disebutkan sebagai lima karakteristik kelompok minoritas berikut ini (Wagley and Harris, dalam Julian: 1986:234).
1) Minoritas adalah merupakan sub-ordinasi dan masyarakat yang kompleks
2) Minoritas cenderung mempunyai ciri fisik atau penampilan budaya khusus yang tidak disukai oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat
3) Minoritas cenderung mengembangkan kesadaran berkelompok dan rasa kebersamaan diantara mereka
4) Anggota anggota kelompok minoritas diwarisi aturan dan nilai turun menurun dari kelompok mereka, untuk mempertahankan karakteristik kelompok pada generasi berikutnya
5) Anggota kelompok minoritas cenderung melakukan endogami atau perkawinan diantara sesama anggota kelompok sendiri.


--> Perspektif Inititusional
Perspektif ini melihat bahwa masalah sosial merupakan salah satu bentuk kondisi sosial. Dengan demikian objek studi tentang masalah sosial adalah masyarakat itu sendiri. Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dari dua alasan :
1) Masyarakatlah yang menimbulkan suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya kerugian fisik dan mental dalam berbagai bagian kehidupan sosial
2) Tindakan dan kondisi yang melanggar norma dan nilai terjadi dalam lingkungan masyarakat. Dengan demikian, basis dari unit analisa untuk memahami masalah sosial adalah masyarakat khususnya struktur sosialnya.
Memang benar, untuk melacak latar belakang terjadinya masalah sosial ada dua pendapat utama, terutama dalam melihat siapa yang bersalah. Kedua pendekatan tersebut adalah The Person Blame Approach dan The Social/System Blame Approach seperti sudah disinggung dalam bab pendahuluan. Person Blame Approach merupakan suatu pendekatan untuk mencari latar belakang maupun faktor penyebab masalah sosial dari segi "cacat" yang ada pada individu. Cacat individual tersebut dapat berupa cacat pembawaan, secara fisik maupun mental, dapat pula berupa cacat kultural. Social/system Blame Approach merupakan pendekatan untuk mencari latar belakang maupun faktor penyebab masalah sosial dari segi "cacat" yang ada pada sistem, pada struktur dan institusi sosial.
Perspektif Institusional cenderung melakukan studi masalah sosial dari pendekatan yang kedua yaitu Social/System Blame Approach. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para pengikut perspektif ini, sehingga cenderung melacak latar belakang masalah sosial dari cacat sistem (Eitzen, 1986 : 17). Pertama, didorong adanya suatu kenyataan bahwa warga masyarakat pada umumnya, instansi kepolisian, pengadilan dan bahkan banyak ahli ilmu sosial cenderung membuat interpretasi tentang masalah sosial dari sudut perspektif individual. Dengan demikian dibutuhkan suatu imbangan karena menurut realitanya masalah sosial juga dapat bersumber dari sistem. Kedua, didasarkan pada pertimbangan, bahwa pokok persoalan ilmu sosial bukan terletak pada aspek individu melainkan masyarakat. Oleh karena ahli ilmu sosial harus menitikberatkan pada determinan sosial dalam rangka mengkaji suatu masalah, maka seharusnya melakukan pembahasan melalui analisis yang kritis tentang struktur sosial. Ketiga,tidak dapat diingkari bahwa kerangka institusional dari suatu masyarakat adalah merupakan sumber masalah sosial (masalah rasial, polusi, distribusi pelayanan kesehatan yang tidak merata, kemiskinan, peperangan dan sebagainya).
Walaupun demikian, agar menjadi cukup proporsional dalam mengaplikasikan pendekatan ini, perlu pula diketahui beberapa kelemahan atau kerawanannya terutama dalam dua hal yang cukup penting. Yang pertama seringkali dilupakan bahwa sistem hanya merupakan sebagian dari kebenaran untuk menjelaskan masalah sosial. Hal ini disebabkan karena masalah sosial mengandang fenomena yang sangat kompleks yang di dalamnya terkandang baik aspek individual maupun aspek sistematik. Kerawanan kedua akan dijumpai apabila orang menggunakan Social/System Blame Approach ini secara dogmatis dalam menjelaskan masalah sosial. Pola pikir yang demikian akan dapat menjurus pada anggapan yang kurang tepat; seolah-olah individu hanya merupakan semacam robot yang sepenuhnya dikendalikan oleh lingkungan sosialnya.
Dengan melihat pola pikir dan sudut pandang yang digunakan oleh perspektif ini, maka akan dapat pula dipahami bagaimana alur berpikir dalam mendiagnosa masalah sosial. Sebagaimana sudah diuraikan terdahulu, pokok perhatian perspektif ini terletak pada struktur sosial. Menurut perspektif ini, masyarakat tersusun dalam suatu struktur dimana sebagian anggota masyarakat mempunyai kekuatan (power) termasuk penguasaan resources, kesempatan dan peluang yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian, lapisan ini mampu mengendalikan dan mengontrol kehidupan sosial ekonomi dalam sistem sosialnya. Sebagai akibat lebih lanjut adalah adanya ketimpangan dan distribusi yang tidak merata antara lapisan yang lebih menguasai power, resources dan kesempatan, dibanding lapisan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar